Jumat, 04 Oktober 2013

PERSALINAN PREMATUR



Persalinan pretrem atau partus prematurus adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu (antara 20 -3 7 minggu) atau dengan berat janin kurang dari 2500 gram (Nugroho, 2010).
Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20 - 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (Prawirohardjo, 2008).
Persalinan preterm atau partus prematur adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu (antara 20 – 37 minggu) atau dengan berat janin kurang dari 2500 gram (Manuaba, 2008).
1.        Faktor predisposisi kelahiran pretrem
Faktor yang merupakan predisposisi terjadinya kelahiran  pretrem adalah :
a.        Faktor dari ibu
1)       Umur ibu
Usia ibu saat melahirkan merupakan salah satu faktor resiko kematian perinatal, dalam kurun waktu reproduksi sehat diketahui bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20 - 35 tahun (Depkes RI, 2009). Pada usia < 20 tahun merupakan resiko tinggi kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayi, hal ini disebabkan pada usia muda organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologisnya belum optimal dan secara psikologis belum tercapainya emosi dan kejiwaan yang cukup dewasa sehingga akan berpengaruh terhadap penerimaan kehamilannya yang akhirnya akan berdampak pada pemeliharaan dan perkembangan bayi yang dikandungnya. Sedangkan pada ibu yang tua, terutama pada ibu hamil dengan usia lebih dari 35 tahun merupakan resiko tinggi pula untuk hamil karena akan menimbulkan komplikasi pada kehamilan dan merugikan perkembangan janin selama periode kandungan. Secara umum hal ini karena adanya kemunduran fungsi fisiologis dari sistem tubuh (Cunningham, 2006).

Usia wanita mempengaruhi resiko kehamilan. Anak perempuan berusia kurang dari 20 dan rentan terhadap terjadinya pre-eklamsi (suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, kenaikan berat badan, oedema dan terdapat proteinuria) dan eklamsi (kejang akibat pre-eklamsi). Mereka juga lebih mungkin melahirkan premature atau bayi dengan berat badan rendah atau bayi kurang gizi. Wanita yang berusia 35 tahun atau lebih, rentan terhadap tekanan darah tinggi, preeklamsa dan eklamsia, perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta) diabetes atau fibroid di dalam rahim serta lebih rentan terhadap gangguan persalinan sehingga mudah terjadi partus prematur (Dardiantoro, 2007).
Kurun waktu reproduksi sehat adalah usia 20 - 35 tahun usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun meningkatkan risiko terjadinya komplikasi dalam kehamilan salah satunya solusio plasenta. Pada solusio plasenta komplikasi pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dan lama berlangsungnya, komplikasi yang dapat terjadi ialah perdarahan, kelainan pembekuan darah, oliguria dan gawat janin sampai kematiannya sehingga pada solusio plasenta akan merangsang untuk terjadi persalinan prematur, perdarahan antepartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera (Wiknjosastro, 2007).
Selain itu berat badan lahir rendah juga berkolerasi dengan usia ibu. Persentase tertinggi bayi dengan berat badan lahir rendah terdapat pada kelompok remaja dan wanita berusia lebih dari 40 tahun. Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, ibu yang masih muda masih tergantung pada orang lain. Kelahiran bayi BBLR lebih tinggi pada ibu-ibu muda berusia kurang dari 20 tahun. Remaja seringkali melahirkan bayi dengan berat lebih rendah. Hal ini terjadi karena mereka belum matur dan mereka belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa. Pada ibu yang tua meskipun mereka telah berpengalaman, tetapi kondisi badannya serta kesehatannya sudah mulai menurun sehingga dapat memengaruhi janin intra uterin dan dapat menyebabkan kelahiran BBLR. Faktor usia ibu bukanlah faktor utama kelahiran BBLR, tetapi kelahiran BBLR tampak meningkat pada wanita yang berusia di luar usia 20 sampai 35 tahun (Wiknjosastro, 2007).
Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan dibawah 20 tahun ternyata 2 - 5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada usia 20 - 35 tahun, kematian maternal meningkat kembali sestelah 35 tahun ke atas (Wiknjosastro, 2007).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur ibu dengan hasil kehamilan. Pada umur < 20 tahun atau ≥ 35 tahun resiko terjadinya prematuritas dan komplikasi kehamilan akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena pada usia < 20 tahun kondisi ibu masih dalam masa pertumbuhan, sehingga masukan makanan banyak dipakai untuk ibu yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin (Rukiyah, 2007).
Secara fisik alat reproduksi pada umur < 20 tahun juga belum terbentuk sempurna. Pada umumnya rahim masih relatif kecil karena pembentukan belum sempurna dan pertumbuhan tulang panggul belum cukup lebar. Rahim merupakan tempat pertumbuhan bayi, rahim yang masih relatif kecil dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin (Rukiyah, 2007).
Angka mortalititas neonatus terendah terdapat pada bayi dari ibu yang mendapat perawatan prenatal yang cukup dan berumur antara 20 - 30 tahun. Kehamilan pada anak usia belasan tahun dan wanita melebihi 35 tahun, menambah resiko terjadinya BBLR (Behrman, 2002 )
2)       Paritas
Paritas atau frekuensi ibu melahirkan anak sangat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak, karena kemungkinan terjadinya kesakitan dan kematian maternal, pada ibu yang baru untuk pertama kalinya hamil agak lebih tinggi dari pada ibu-ibu yang sudah mempunyai anak dua atau tiga. Setelah anak kelima angkanya menjadi sangat menyolok. Pada ibu-ibu dengan paritas tinggi kematian maternal dan kematian anak menjadi tinggi, karena sering melahirkan maka didapat hal-hal seperti teganggunya kesehatan karena kurang gizi terjadinya anemia, perdarahan antepartum, kehamilan ganda, preeklamsia dan eklamsia, terjadinya kekendoran pada dinding perut dan dinding rahim juga kemungkinan-kemungkinan lainnya yang dapat terjadi sehingga dari keadaan tersebut maka akan mudah menimbulkan penyulit persalinan seperti kelamaan his, partus lama bahkan partus prematur (Depkes, 2005).
Paritas adalah jumlah persalinan yang telah dilakukan ibu. Paritas 2 - 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi (Prawirohardjo, 2005). 
3)       Riwayat kelahiran pretrem sebelumnya
Jika seorang wanita yang 3 kali berturut-turut mengalami keguguran pada trimester pertama, memiliki resiko sebesar 35% untuk mengalami keguguran lagi. Keguguran juga lebih mungkin terjadi pada wanita yang pernah melahirkan bayi yang sudah meninggal pada usia kehamilan 4 - 8 minggu atau pernah melahirkan bayi prematur. Seorang wanita yang pernah melahirkan bayi prematur, memiliki resiko yang lebih tinggi untuk melahirkan bayi prematur pada kehamilan berikutnya. Seorang wanita yang pernah melahirkan bayi dengan berat badan kurang dari 1,5 kg memiliki resiko sebesar 50% untuk melahirkan bayi prematur pada kehamilan berikutnya (Dardiantoro, 2007).
Riwayat obstetrik seorang ibu yang melahirkan akan berpengaruh pada kehamilan berikutnya dimana seorang wanita yang pernah melahirkan bayi prematur, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan bayi prematur pada kehamilan berikutnya. Seorang wanita yang pernah melahirkan bayi dengan berat badan kurang dari 1,5 kg, memiliki risiko sebesar 50% untuk melahirkan bayi prematur pada kehamilan berikutnya. Seorang wanita yang 3 kali berturut-turut mengalami keguguran pada trimester pertama, memiliki risiko sebesar 35% untuk mengalami keguguran lagi. Keguguran juga lebih mungkin terjadi pada wanita yang pernah melahirkan bayi yang sudah meninggal pada usia kehamilan 4 - 8 minggu atau pernah melahirkan bayi prematur (Dardiantoro, 2007).
4)       Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat
Pada wanita yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan (dibawah dua tahun), akan mengalami peningkatan risiko terhadap terjadinya perdarahan pada trimester ketiga, termasuk karena alasan plasenta previa, anemia atau kurang darah, ketuban pecah awal, endometriosis masa nifas serta yang terburuk yakni kematian saat melahirkan (Dian, 2004). Selain itu wanita yang hamil dengan jarak terlalu dekat berisiko tinggi mengalami komplikasi di antaranya kelahiran prematur, bayi dengan berat badan rendah, bahkan bayi lahir mati. Meningkatnya risiko ini tidak berkaitan dengan faktor risiko lain, seperti komplikasi pada kehamilan pertama, usia ibu waktu melahirkan, dan status ekonomi ibu. jarak kehamilan terlalu dekat menyebabkan ibu punya waktu yang terlalu singkat untuk memulihkan kondisi rahimnya. Setelah rahim kembali ke kondisi semula, barulah merencanakan punya anak lagi (Ros, 2003).
5)       Hipertensi
Hipertensi yang menyertai kehamilan merupakan penyebab terjadinya kematian ibu dan janin. Hipertensi yang disertai dengan protein urin yang meningkat dapat menyebabkan preeklampsia/eklampsia. Preeklampsia-eklampsia dapat meng-akibatkan ibu mengalami komplikasi yang lebih parah, seperti solusio plasenta, perdarahan otak, dan gagal otak akut. Janin dari ibu yang mengalami preeklampsia-eklampsia meningkatkan risiko terjadinya kelahiran prematur, terhambatnya pertumbuhan janin dalam rahim (IUGR) dan hipoksia (Bobak, 2004).

6)       Malnutrisi
Salah satu teori yang menjelaskan pengaruh status nutrisi seorang ibu hamil pada janin yang dikandungnya adalah teori yang dikenal dengan nama “Fetal Programming”. Menurut teori tersebut, seorang ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi/malnutrisi akan menyebabkan fetus yang dikandungnya mendapat asupan makanan yang kurang dalam pertumbuhannya. Asam folat amat dibutuhkan saat terjadinya penambahan jumlah sel di masa awal kehamilan. Kekurangan asam folat biasanya akan dikaitkan dengan tingginya resiko si bayi mengalami “neural tube defects”, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan  lahir prematur. Kebutuhan Besi dan Iodium merupakan mikronutrisi yang amat diperlukan dalam masa kehamilan. Anemia saat kehamilan biasanya akan mempertinggi risiko terjadinya BBLR pada bayi, tingginya insidens kelahiran prematur dan meningkatkan kemungkinan terjadinya kematian pada ibu saat melahirkan (Sumamari, 2006).
7)       Anemia
Terjadinya anemia dalam kehamilan bergantung dari jumlah persediaan besi dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Selama masih mempunyai cukup persediaan besi Hb tidak akan turun dan jika persediaan ini habis Hb akan turun ini terjadi pada bulan ke 5 - 6 kehamilan, pada waktu janin membutuhkan banyak zat besi, anemia akan mengurangi kemampuan metabolisme tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim, bila terjadi anemia pengaruhnya terhadap hasil konsepsi adalah terjadinya prematur, cacat bawaan, cadangan besi kurang, kematian janin dalam kandungan, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini dan mudah terjadi infeksi (Mochtar, 2007).
8)       Kelainan uterus
Uterus mempunyai peran vital dalam proses reproduksi. Kelainan uterus, baik yang bawaan maupun yang diperoleh, dapat mengganggu lancarnya kehamilan dan persalinan. Secara embriologis uterus, serviks dan vagina dibentuk dari kedua duktus Muller, yang dalam pertumbuhan mudiga mengalami proses penyatuan (fusi). Kelainan bawaan dapat terjadi akibat gangguan dalam penyatuan, dalam berkembangnya kedua saluran Muller dan dalam kanalisasi. Uterus unikornis terdiri atas 1 uterus dan 1 serviks yang berkembang dari satu saluran Muller kanan atau kiri. Saluran lain tidak berkembang sama sekali. Sering kelainan ini disertai pula oleh tidak berkembangnya saluran kencing secara unilateral. Kelainan-kelainan bawaan uterus tersebut tidak semua mempunyai arti obstetrik yang sama. Beberapa diantaranya dapat menggangu berlangsungnya kehamilan, baik dalam kehamilan muda maupun kehamilan lanjut, sehingga lebih sering terjadi abortus sampai-sampai abortus habitualis dan partus prematur kira-kira 60% (Wiknjosastro, 2007).
9)       Penyakit jantung.
Keperluan janin yang sedang bertumbuh akan oksigen dan zat-zat makanan bertambah dalam berlangsungnya kehamilan, yang harus dipenuhi melalui darah ibu. Untuk itu banyaknya darah yang beredar bertambah, sehingga jantung harus bekerja lebih berat. Partus kala II apabila ibu mengerahkan tenaga untuk meneran, kehamilan 32 - 36 minggu apabila hipervolemia mencapai puncaknya, sehingga jantung harus bekerja lebih berat. Apabila tenaga cadangan jantung dilampaui, maka terjadi dekompensasi kordis, jantung tidak sanggup lagi menunaikan tugasnya. Penyakit jantung memberi pengaruh tidak baik kepada kehamilan dan janin dalam kandungan, apabila ibu menderita hipoksia dan sianosis hasil konsepsi dapat menderita pula dan  mati, yang kemudian pula disusul oleh abortus. Apabila konsepsi dapat terus hidup anak dapat lahir prematur atau lahir cukup bulan akan tetapi dengan berat badan rendah (dismaturitas). Selain itu janin dapat menderita hipoksia dan gawat janin dalam persalinan, sehingga neonatus lahir mati atau dengan nilai Apgar Score rendah. Ditemukan komplikasi prematur dan BBLR pada penderita penyakit jantung dalam kehamilan lebih sering terjadi pada ibu dengan volume plasma pada usia kehamilan 32 minggu dan partus kala I yang lebih rendah (Wiknjosastro, 2007).  
10)   Infeksi
Infeksi malaria dalam kehamilan dapat mengubah jalannya kehamilan dengan memperburuk keadaan ibu dan berakhirnya kehamilan dan dapat menyebabkan partus prematurus karena pireksia atau akibat kematian janin, plasenta wanita hamil menderita malaria bekerja seperti limpa. Ruang-ruang intervilus dapat penuh dengan makrofag dan parasit. Ini terutama khas bagi infeksi plasmodium falciparum (malaria tertiana) dan dijumpai dalam pertengahan kedua kehamilan. Apabila hal itu jelas menghambat pertumbuhan janin, maka sudah dipahami bahwa oksigenasi juga terganggu, yang menyebabkan insufisiensi plasenta dengan akibat angka kematian perinatal tinggi (Wiknjosastro, 2007).
Infeksi sifilis pada kehamilan merupakan penyakit treponema palidium yang dapat menembus plasenta setelah kehamilan 16 minggu, diagnosa tidak terlalu sukar karena dapat luka pada daerah genetalia, mulut atau tempat lainnya. Pengaruhnya terhadap kehamilan dapat dalam bentuk persalinan prematur atau kematian dalam rahim. Infeksi tifus abdomnalis pada kehamilan yang disertai panas badan tinggi dan kemungkinan perforasi, sehingga menimbulkan diet cair secara tidak langsung dapat menimbulkan gangguan pada kehamilan dapat terjadi keguguran, persalinan prematur atau lahir mati (Manuaba, 2005). 
b.       Faktor kehamilan
1)       Perdarahan antepartum
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan serviks biasanya tidak seberapa bahaya. Pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta. Pada plasenta previa sering kali berhubungan dengan persalinan prematur akibat harus dilakukan tindakan pada perdarahan yang banyak. Bila telah terjadi perdarahan banyak maka kemungkinan kondisi janin kurang baik karena hipoksia, dengan bertambah tua kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi dan serviks mulai membuka nasib janin tergantung dari banyaknya perdarahan dan tuanya kehamilan pada waktu persalinan. Perdarahann mungkin masih dapat diatasi dengan tranfusi darah, akan tetapi persalinan yang terpaksa diselesaikan dengan janin yang masih prematur tidak selalu dapat dihindarkan. Pada solusio plasenta komplikasi pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dan lama berlangsungnya, komplikasi yang dapat terjadi ialah perdarahan, kelainan pembekuan darah, oliguria dan gawat janin sampai kematiannya sehingga pada solusio plasenta akan merangsang untuk terjadi persalinan prematur, perdarahan antepartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera (Wiknjosastro, 2007).
2)       Hidramnion
Pada hidramnion sering ditemukan plasenta yang besar, gejalanya  terjadi sebagai akibat penekanan uterus yang besar kepada organ-organ seputarnya. Hidramnion menyebabkan uterus meregang sehingga dapat menyebabkan partus prematur. Hidramnion akut biasanya terjadi pada trimester kedua dan kehamilan sering berakhir pada kehamilan 28 minggu. Hidramnion kronis terjadinya perlahan-lahan pada kehamilan yang lebih tua. Keluhannya tidak hebat. Hidramnion harus dianggap sebagai kehamilan dengan resiko tinggi karena dapat membahayakan ibu dan anak. Prognosis anak kurang baik karena adanya kelainan congenital dan prematur (Wiknjosastro, 2007).
3)       Preeklamsia dan eklamsia
Preeklamsia dan eklamsia merupakan komplikasi kehamilan yang berkelanjutan dengan penyebab yang sama. Diagnosis ditetapkan dengan dua dari trias preeklamsia yaitu kenaikan berat badan sampai oedema, kenaikan tekanan darah dan terdapat proteinuria, kelanjutan preeklamsia berat menjadi eklamsia dengan tambahan gejala kejang-kejang dan atau koma. Diagnosis preeklamsia dan eklamsia penyebab kematian bayi antara 45% sampai 50% adalah asfiksia dan persalinan prematur (Wiknjosastro, 2007).
4)       Ketuban pecah dini
Ketuban pecah dini merupakan penyebab terbesar dan sumber persalinan prematur. Bahaya ketuban pecah dini kemungkinan infeksi dalam rahim dan persalianan prematur. Ketuban pecah mengakibatkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruang dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi asenden. Salah satu fungsi ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatas dunia luar dan ruang dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematur dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi atau janin dalam rahim. Makin kecil umur kehamilan makin besar peluang terjadi infeksi dalam rahim yang dapat memacu terjadinya persalinan prematuritas bahkan berat janin kurang dari 1 kg (Manuaba, 2005).



c.        Gaya hidup
1)       Konsumsi obat
Konsumsi obat-obatan pada saat hamil: Peningkatan penggunaan obat-obatan (antara 11% dan 27% wanita hamil, bergantung pada lokasi geografi telah mengakibatkan makin tingginya insiden kelahiran premature, BBLR, defek kongenital, ketidakmampuan belajar, dan gejala putus obat pada janin (Bobak, 2004).
2)       Minum alkohol
Konsumsi alkohol pada saat hamil: Penggunaan alkohol selama masa hamil dikaitkan dengan keguguran (aborsi spontan), retardasi mental, BBLR dan sindrom alkohol janin (Bobak, 2004).
3)       Perokok
Perokok yang dimaksudkan disini ibu perokok aktif, pengaruh nikotin yang terkandung didalam rokok menimbulkan kontraksi pada pembuluh darah, akibatnya aliran darah ke tali pusat janin akan berkurang sehingga mengurangi kemampuan distribusi zat yang diperlukan oleh janin (Pancawati, 2002).
d.       Faktor janin
1)    Gemelli
Proses persalinan pada kehamilan ganda bukan multiplikasi proses kelahiran bayi, melainkan multiplikasi dari resiko kehamilan dan persalinan (Saifuddin, 2009). Persalinan pada kehamilan kembar besar kemungkinan terjadi masalah seperti resusitasi neonatus, prematuritas, perdarahan postpartum, malpresentasi kembar kedua, atau perlunya seksio sesaria (Varney, 2007). Berat badan kedua janin pada kehamilan kembar tidak sama, dapat berbeda 50 - 1000 gram, hal ini terjadi karena pembagian darah pada plasenta untuk kedua janin tidak sama. Pada kehamilan kembar distensi (peregangan) uterus berlebihan, sehingga melewati batas toleransi dan sering terjadi persalinan prematur. Kematian bayi pada anak kembar lebih tinggi dari pada anak kehamilan tunggal dan prematuritas merupakan penyebab utama (Wiknjosastro, 2007).
2)    Kelainan kongenital
Kelainan kongenital atau cacat bawaan merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai BBLR atau bayi kecil. BBLR dengan kelainan kongenital diperkirakan 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya (Saifuddin, 2009).

1 komentar: