Sejak tahun 1961 WHO
telah mengganti istilah prematuritas
dengan BBLR karena tidak semua bayi dengan berat kurang dari 2500 gram pada
waktu lahir bayi prematur. Keadaan
ini dapat disebabkan oleh 1) umur kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat
yang sesuai (masa kehamilan dihitung mulai hari pertama haid terakhir dari haid
yang teratur); 2) bayi yang beratnya kurang dari berat semestinya menurut masa
kehamilannya (Kecil Masa Kehamilan/Perkembangan Janin Terhambat (PJT)/Intra Uterine Growth Retardation); atau
karena kombinasi keduanya (Wiknjosastro, 2007).
Bayi Kecil Masa
Kehamilan (KMK) adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari berat
badan seharusnya untuk masa gestasinya, artinya bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri (Syafrudin, 2009).
Umumnya janin dengan
Kecil Masa Kehamilan (KMK) memiliki taksiran berat dibawah persentil ke-10.
Artinya janin memiliki berat kurang dari 90 % dari keseluruhan janin dalam usia
kehamilan yang sama (Bobak et all, 2004).
Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK) dalam bahasa
Inggris disebut Small-for-Gestasional-Age
(SGA) atau Small-For-Date (SFD),
yaitu bayi yang lahir dengan keterlambatan pertumbuhan intrauterin dengan berat badan terletak dibawah persentil ke-10
dalam grafik pertumbuhan intrauterin (Wiknjosastro,
2007).
Bayi kecil masa
kehamilan juga sering di sebut pertumbuhan janin terhambat yang merupakan
gagalnya setiap janin untuk mencapai potensi pertumbuhannya secara penuh (Norwitch,
2006). Keadaan ini penting karena dapat mengenali satu kelompok bayi
kecil masa kehamilan yang beresiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas perinatal (Moore, 2001).
Dismaturitas ialah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya kurang dibandingkan dengan
berat badan seharusnya untuk masa gestasi
bayi itu (KMK) (FK UI, 2007).
Istilah dismaturitas janin mengacu kepada sindrom dimana tahap perkembangan bayi
kurang daripada yang diharapkan untuk periode kehamilan tersebut atau keadaan
ini memperlihatkan perubahan yang bersifat kemunduran (regresi) dan tanda-tanda
hipoksia intrauterin (Oxorn, 2010).
Bayi-bayi yang
pertumbuhan intrauterinnya mengalami retardasi
akan berukuran lebih kecil dibandingkan umur kehamilannya (SGA) (Oxorn, 2010).
Dengan definisi yang
telah dikemukakan diatas, dismaturitas
dapat terjadi ’preterm’, ’term’ atau ’postterm’. Nama lain yang sering digunakan ialah Kecil Masa Kehamilan
(KMK), insufisiensi plasenta (FK UI,
2007), pertumbuhan janin yang lambat dalam uterus
bisa mencerminkan adanya insufisiensi kronis intrauterin (Oxorn, 2010).
Di negara-negara maju, sekitar duapertiga bayi berat
lahir rendah disebabkan oleh prematuritas,
sedangkan di Negara-negara sedang berkembang sebagian besar bayi BBLR di
sebabkan oleh pertumbuhan intrauterin terhambat
atau Intra Uterin Growth Retardation
(Varney, 2005).
Pertumbuhan
Janin Terhambat (PJT) terbagi atas dua yaitu (Manuaba, 2001).:
1) Gangguan
pertumbuhan janin simetris
Memiliki
kejadian lebih awal dari gangguan pertumbuhan janin yang tidak simetris, semua
organ mengecil secara proporsional. Faktor yang berkaitan dengan hal ini adalah
kelainan kromosom, kelainan organ
(terutama jantung), infeksi TORCH (Toxoplasmosis,
Other Agents<Coxsackie virus, Listeria>, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes
simpleks), kekurangan nutrisi berat pada ibu hamil dan wanita hamil yang
merokok.
2) Gangguan
pertumbuhan janin asimetris (tidak simetris)
Gangguan
pertumbuhan janin asimetris memiliki waktu kejadian lebih lama dibandingkan
gangguan pertumbuhan janin asimetris. Beberapa organ lebih terpengaruh
dibandingkan yang lain, lingkar perut adalah bagian tubuh yang terganggu untuk
pertama kalinya, kelainan panjang tulang paha umumnya terpengaruhi belakangan,
lingkar kepala dan diameter biparietal juga berkurang. Faktor yang mempengaruhi
adalah insufisiensi (tidak efisiensinya) plasenta
yang terjadi karena gangguan kondisi ibu termasuk diantaranya tekanan darah
tinggi dan diabetes dalam kehamilan.
Bentuk pelambatan atau penghentian pertumbuhan ini
terjadi pada bayi-bayi dengan kemampuan pertumbuhan yang normal. Kelainan
dasarnya berupa gangguan pada suplai zat gizi trans-plasenta (Oxorn, 2010).
Ada dua bentuk
IUGR/PJ T yaitu (Wiknjosastro, 2007):
1)
Proportionate IUGR,
janin yang menderita distress yang lama dimana gangguan pertumbuhan terjadi
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi lahir sehingga berat, panjang
dan lingkaran kepala dalam proporsi yang seimbang akan tetapi keseluruhannya
masih di bawah masa gestasi yang
sebenarnya. Bayi ini tidak menunjukkan adanya wasted oleh karena retardasi pada janin ini terjadi pada
janin ini terjadi sebelum terbentuknya adipose tissue.
2)
Disproportionate
IUGR, terjadi akibat distress subakut. Gangguan terjadi beberapa minggu sampai
beberapa hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini panjang dan lingkaran
kepala normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi. Bayi tampak wasted dengan tanda-tanda sedikitnya jaringan
lemak di bawah kulit, kulit kering keriput dan mudah diangkat, bayi kelihatan kurus
dan lebih panjang.
Pada bayi IUGR perubahan tidak hanya terhadap ukuran panjang, berat dan
lingkaran kepala akan tetapi organ-organ didalam badan pun mengalami perubahan
misalnya Drillen menemukan berat otak, jantung, paru, dan ginjal bertambah
sedangkan berat hati, limpa, kelenjar adrenal dan thymus berkurang dibandingkan
bayi premature dengan berat yang
sama. Perkembangan dari otak, ginjal dan paru sesuai dengan masa gestasinya (Cunningham,
2005).
Tanda-tanda
bayi Perkembangan Janin Terhambat (PJT)/Kecil Masa Kehamilan (KMK) menurut
Dikes Provinsi NTB (2007) dan Syafrudin (2009), yaitu:
a) Umur
janin cukup tapi beratnya kurang dari
2500 gram
b) Gerakannya
aktif dan tangisnya kuat
c) Kulitnya keriput, lemak dibawah kulitnya tipis
d) Bayi
perempuan labia mayora menutupi labia minora
e) Bayi
laki-laki testis mungkin telah turun
f) Rajah
telapak kaki lebih dari 1/3 bagian
g) Menghisap kuat
b. Etiologi
1) Faktor
Ibu
a) Umur
Ibu
Usia
ibu saat melahirkan merupakan salah satu faktor resiko kematian perinatal, dalam kurun waktu reproduksi
sehat diketahui bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-35
tahun. (Depkes RI, 2009)
Kehamilan, persalinan, dan kelahiran paling aman,
pada kebanyakan aspek, bila ibu melahirkan bayi pada usia antara 20 dan 34 tahun.
Ibu remaja, baik yang berusia lebih muda (13 sampai 17 tahun) maupun lebih tua
(18 atau 19), memiliki peluang tinggi untuk melahirkan bayi premature atau mengalami retardasi
pertumbuhan (Wheeler, 2003).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara umur ibu dengan hasil kehamilan. Pada umur < 20 tahun atau ≥ 35 tahun
resiko terjadinya prematuritas dan
komplikasi kehamilan akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena pada
usia < 20 tahun kondisi ibu masih dalam masa pertumbuhan, sehingga masukan
makanan banyak dipakai untuk ibu yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin
(Rukiyah, 2007).
Secara fisik alat reproduksi pada umur < 20 tahun
juga belum terbentuk sempurna. Pada umumnya rahim masih relative kecil karena
pembentukan belum sempurna dan pertumbuhan tulang panggul belum cukup lebar
karena rahim merupakan tempat pertumbuhan bayi, rahim yang masih relative kecil
dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin (Rukiyah, 2007).
Kematian
maternal pada wanita hamil dan
melahirkan di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-35
tahun, kematian maternal meningkat
kembali setelah 35 tahun ke atas (Wiknjosastro, 2007).
Pada
usia 20 tahun merupakan resiko tinggi kehamilan yang mengancam keselamatan ibu
dan bayi, hal ini disebabkan pada usia muda organ-organ reproduksi dan fungsi
fisiologisnya belum optimal dan secara psikologis belum tercapainya emosi dan
kejiwaan yang cukup dewasa sehingga akan berpengaruh terhadap penerimaan
kehamilannya yang akhirnya akan berdampak pada pemeliharaan dan perkembangan
bayi yang dikandungnya. Sedangkan
pada ibu yang tua, terutama pada ibu hamil dengan usia lebih dari 35 tahun
merupakan resiko tinggi pula untuk hamil karena akan menimbulkan komplikasi
pada kehamilan dan merugikan perkembangan janin selama periode kandungan.
Secara umum hal ini karena adanya kemunduran fungsi fisiologis dari sistem
tubuh (Cunningham, 2005).
b) Paritas
Paritas adalah kehamilan
yang menghasilkan janin hidup ataupun mati setelah viabilitas dapat
dicapai dan bukan jumlah janin yang dilahirkan (Walsh, 2007).
Para adalah jumlah kehamilan
yang berakhir dengan kelahiran bayi atau bayi telah mencapai titik mampu
bertahan hidup (Varney, 2006).
Para adalah seorang wanita
yang pernah melahirkan bayi yang dapat hidup (viable) (Wiknjosastro,
2007).
Jadi, dari definisi di atas
maka paritas adalah jumlah kehamilan yang berakhir dengan kelahiran bayi yang
dapat hidup (viable).
Menurut Varney (2006), paritas diklasifikasikan menjadi :
1)
Primipara
adalah seorang wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik
mampu bertahan hidup.
2)
Multipara
adalah seorang wanita yang sudah mengalami dua kehamilan atau lebih dengan
janin mencapai titik mampu bertahan hidup
3)
Grande multipara adalah seorang wanita yang
telah mengalami empat atau lebih kehamilan yang berakhir pada saat janin telah
mencapai batas viabilitas
Suatu peningkatan pada paritas seorang wanita dicapai hanya jika kehamilan
menghasilkan janin yang mampu bertahan hidup (Varney, 2006).
Paritas 2-3 merupakan paritas yang paling aman ditinjau dari kematian maternal maupun kesehatan ibu dan
bayinya, paritas 1 atau lebih dari 4 mempunyai resiko kematian tinggi
(Wiknjosastro, 2007).
Pada umumnya BBLR meningkat sesuai dengan meningkatnya paritas ibu. Resiko
untuk terjadinya BBLR tinggi pada paritas 1 kemudian menurun pada paritas 2
atau 3, selanjutnya meningkat kembali pada paritas 4 (Manuaba, 2001).
Pada ibu dengan grandemulti, alat
reproduksi yang dimilikinya mengalami kemunduran daya lentur jaringan yang
disebabkan terlalu sering melahirkan dengan usia yang tidak produktif (>35
tahun) menyebabkan terjadinya persalinan prematur sehingga bayi yang dilahirkan
BBLR (Winkjosastro, 2007).
c) Penyakit
Ibu (Preeklampsia/Eklampsia)
Penyakit-penyakit yang diderita ibu seperti
hipertensi, jantung, paru-paru, penyakit infeksi, gangguan gizi dan kebiasaan
merokok dan pecandu alkohol serta kehamilan dengan interval yang pendek dapat
menyebabkan gizi kurang yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pertumbuhan
janin terhambat. Perubahan-perubahan mikrovaskuler
akibat toksemia gravidarum, hipertensi, penyakit ginjal kronis dan diabetes
mellitus menyebabkan pengurangan aliran darah ke uterus dan plasenta
sehingga mengganggu pertumbuhan janin (Manuaba, 2001).
Biasanya tanda-tanda pre-eklampsia timbul dalam urutan pertambahan berat badan yang
berlebihan, diikuti edema,
hipertensi, dan akhirnya proteinuria.
Pada pre-eklampsia ringan tidak
ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada pre-eklampsia
berat di dapatkan sakit kepala di daerah frontal,
skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-gejala ini sering
ditemukan pada preeklamsia yang
meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia
akan timbul. Tekanan darah pun meningkat lebih tinggi, edema menjadi lebih umum dan proteinuria
bertambah banyak (Winkjosastro, 2007).
Temuan-temuan yang dilaporkan oleh Friedman dkk. pada
para wanita dengan janin yang pertumbuhannya terhambat akibat preeklampsia berat mempunyai angka
kematian pada masa bayi lebih tinggi (Cunningham, 2005).
Faktor-faktor terjadinya pre-eklampsia dan eklampsia
adalah (Winkjosastro, 2007):
(1) Jumlah primigravida,
terutama primigravida muda
(2) Distensi rahim yang berlebihan seperti hamil ganda, mola hidatidosa
(3) Penyakit yang menyertai kehamilan, seperti Diabetes
Mellitus, kegemukan
(4) Jumlah umur ibu diatas 35 tahun
(5) Preeklampsia berkisar antara 3%-5% dari kehamilan yang di rawat
Karena patofisiologi preeklampsia menyebabkan insufisiensi plasenta dan uterus, maka
janin beresiko mengalami hipoksia
kronis dan IUGR (Varney, 2005).
Pada beberapa wanita hamil, terjadi peningkatan
sensitivitas vaskuler terhadap angiotensin
II. Peningkatan ini menyebabkan hipertensi dan kerusakan vaskuler,
akibatnya akan terjadi vasospasme. Vasospasme menurunkan diameter pembuluh
darah ke semua organ, fungsi-fungsi
organ seperti plasenta, ginjal, hati
dan otak menurun sampai 40-60%. Gangguan plasenta
menimbulkan degenerasi pada plasenta
dan kemungkinan terjadi IUGR dan IUFD pada fetus.
Aktivitas uterus dan sensitifitas
terhadap oksitosin meningkat (Maryunani, 2009).
d) Komplikasi
kehamilan (Ketuban pecah dini (KPD)
Ketuban pecah dini
adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan setelah
ditunggu satu jam, belum ada tanda persalinan. Ketuban pecah dini adalah penyebab terbesar terjadinya
kelahiran premature. Waktu sejak
pecah ketuban sampai terjadi kontraksi rahim disebut “kejadian ketuban pecah
dini” (periode laten). Kondisi ini merupakan penyebab terbesar persalinan prematur dengan segala akibatnya. Early rupture of membrane
adalah ketuban pecah pada fase laten persalinan (Winkjosastro, 2007).
Ketuban dinyatakan pecah
dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Ketuban pecah dini
merupakan masalah penting dalam obstetri
berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi khorioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan
mortalitas perinatal, dan menyebabkan
infeksi ibu (Saifudin AB, 2009).
Insidensi
KPD mendekati 10% dari semua
persalinan, dan pada umur kehamilan
kurang dari 34 minggu, angka kejadiannya sekitar 4%. Sebagian dari KPD mempunyai
periode lama melebihi satu minggu (Manuaba, 2001).
Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara
dunia luar dan ruangan dalam rahim karena salah satu fungsi selaput ketuban
adalah melindungi atau menjadi pembatas dengan dunia luar. Pecahnya selaput
ketuban dapat memudahkan terjadinya infeksi ascenden.
Makin lama periode laten makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim,
persalinan premature dan selanjutnya
meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi atau janin dalam
rahim (Manuaba,2001). Pecahnya selaput ketuban sebelum aterm merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas perinatal.
Mortalitas pada bayi preterm adalah
30 % (Oxorn, 2010).
Dengan pecahnya ketuban
dapat terjadi pengurangan volume cairan amnion
yang menekan tali pusat hingga dapat terjadi hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan
derajat oligohidramnion, semakin
sedikit air ketuban, janin semakin gawat (Winkjosastro, 2007).
Sebagian
besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm
di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu tidak terlalu banyak (Manuaba,
2001).
Penyebab KPD,
meliputi hal-hal berikut (Manuaba, 2001) :
(1) Serviks
inkompeten
(2) Ketegangan
rahim berlebihan seperti pada kehamilan ganda, hidramnion
(3) Kelainan
letak janin dalam rahim seperti letak sungsang, letak lintang
(4) Kemungkinan
kesempitan panggul seperti perut gantung, bagian terendah belum masuk PAP
(pintu atas panggul), disproporsi sefalopelvik
(5) Kelainan
bawaan dari selaput ketuban
(6) Infeksi
yang menyebabkan terjadi proses biomekanik
pada selaput ketuban dalam bentuk proteolitik
sehingga memudahkan ketuban pecah.
Pada
kehamilan aterm, 90 % persalinan
terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu
50 % persalinan dalam 24 jam. Sedangkan pada kehamilan kurang dari 26 minggu,
persalinan terjadi dalam 1 minggu (Saifudin, 2009).
Owen
dkk menganalisis hasil akhir perinatal
pada 178 kehamilan yang dilahirkan terutama karena hipertensi. Mereka membandingkannya dengan 159 kehamilan yang dilahirkan atas indikasi
persalinan spontan atau pecah ketuban preterm
spontan. Mereka menyimpulkan bahwa kehamilan yang mengalami “stress”, yang
sering mengakibatkan dilahirkannya bayi kecil masa kehamilannya, tidak
memberikan keuntungan yang besar bagi ketahanan hidup (Cunningham, 2005).
c. Diagnosis
Secara klinik
awal pertumbuhan janin yang terhambat dikenal setelah 28 minggu (Saifudin AB,
2009).
Karena
mortalitas perinatalnya tinggi, diagnosis dini amat penting. Namun demikian,
diagnosis dini sulit ditegakkan dan hanya dibuat pada sepertiga kasus. Screening test yang bisa diandalkan
belum ada. Sering bayi yang mengalami retardasi
pertumbuhan ini diketahui hanya setelah lahir. Sebaliknya overdiagnosis merupakan masalah, hanya sepertiga dari bayi-bayi
yang dicurigai menderita retardasi
pertumbuhan itu yang ternyata benar demikian. Hal ini mengakibatkan pemeriksaan
dan interfensi yang tidak diperlukan (Oxorn, 2010).
IUGR
dapat terlewat tidak terdiagnosis kecuali ahli obstetrik menetapkan umur gestasi
yang benar pada janin, mengenali faktor-faktor beresiko tinggi dari data dasar obstetrik dan secara berkala menilai
pertumbuhan janin dengan ketinggian fundus
atau ultrasonografi. Penilaian sonografik yang menyeluruh harus
dilakukan bila 1) Tinggi fundus
berkurang lebih dari 2 cm di banding umur gestasi
yang sudah ditegakkan dengan baik atau 2) Ibu menghadapi keadaan yang beresiko
tinggi seperti misalnya hipertensi
yang telah ada, penyakit ginjal yang kronis, diabetes yang parah dengan
keterlibatan pembuluh darah, preeklampsia,
penyakit virus, kecanduan pada nikotin, alkohol, atau obat keras (Moore, 2001).
Tanda-tanda
retardasi pertumbuhan intra-uterin atau insufisiensi plasenta
jarang timbul sebelum 28 minggu kehamilan. Gambaran klinisnya yaitu (Oxorn,
2010):
1. Uterus dan janin tidak berhasil tumbuh dengan kecepatan normal
selama jangka waktu 4 minggu.
2. Tinggi fundus uteri
sedikitnya 2 cm lebih rendah daripada yang diperkirakan menurut umur/ lamanya
kehamilan.
3. Berat badan Ibu tidak meningkat
4. Gerakan janin semakin berkurang
5. Uterus sering mudah terangsang
6. Volume cairan ketuban menurun
d. Akibat-akibat
yang di timbulkan pada bayi KMK
Masalah
bayi BBLR Perkembangan Janin Terhambat (PJT)/Kecil Masa kehamilan (KMK) menurut
Wiknjosastro dan Dikes Provinsi NTB (2007):
1. Pada
bayi-bayi Kecil Masa Kehamilan (KMK), alat-alat dalam tubuhnya sudah bertumbuh lebih
baik bila dibandingkan dengan bayi prematur
dengan berat yang sama. Dengan demikian, bayi KMK yang tidak prematur lebih
mudah hidup di luar kandungan. Walaupun demikian, harus waspada akan terjadinya
beberapa komplikasi yang harus ditanggulangi dengan baik, seperti:
a. Aspirasi mekoneum yang sering diikuti pneumotoraks.
b.
Hipoglikemia
c. Keadaan
lain yang mungkin terjadi seperti asfiksia,
perdarahan paru yang masif, hipotermia,
cacat bawaan akibat kelainan kromosom, cacat bawaan oleh karena infeksi intrauterin, dan sebagainya.
Sekalipun berat janin lebih kecil dari umur
kehamilannya, tetapi pertumbuhan organ-organnya lebih sempurna sehingga
kemampuannya lebih baik (Manuaba, 2001).
Komplikasi bayi dengan PJT memiliki tingkat
morbiditas dan mortalitas perinatal yang lebih tinggi pada usia gestasi
berapapun, tetapi memiliki prognosis yang lebih baik daripada bayi dengan berat
badan lahir sama yang dilahirkan pada usia gestasi yang lebih awal. Sayangnya
morbiditas neonatus akan ditemukan pada 50 % neonatus PJT yaitu (Norwitch, 2006) :
1)
Asfiksia
Asfiksia bayi baru lahir adalah dimana bayi tidak dapat bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan atau segera setelah bayi
lahir (Wiknjosastro, 2007).
Pada bayi BBLR baik cukup bulan maupun kurang bulan dapat
mengalami gangguan pernafasan oleh karena bayi menelan air ketuban sehingga
masuk ke dalam paru-paru dan kemudian mengganggu pernafasan, semua berdampak
pada proses adaptasi pernafasan waktu lahir sehingga mengalami asfiksia lahir (Proverawati, 2010)
a) Penilaian dengan nilai APGAR
Nilai APGAR adalah suatu alat yang sangat baik untuk
menilai status keseluruhan pada neonatus segera setelah kelahiran (1 menit) dan
setelah periode singkat observasi (5 menit). Nilai APGAR yang normal adalah 7
atau lebih besar pada 1 menit dan 9 atau 10 pada 5 menit (Hacker, 2001).
Nilai (skor) APGAR tidak digunakan sebagai dasar keputusan
untuk tindakan resusitasi. Penilaian harus dilakukan segera sehingga keputusan
resusitasi tidak didasarkan pada penilaian APGAR; tetapi cara APGAR tetap
dipakai untuk menilai kemajuan kondisi BBL pada saat 1 menit dan 5 menit setelah
kelahiran (Depkes RI, 2007).
Berikut
Nilai APGAR secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 2.1
Tabel 2.1. Nilai
APGAR ( Varney, 2007 ).
Klinis
|
0
|
1
|
2
|
Warna
kulit
|
Biru
pucat
|
Tubuh
merah, ekstremitas biru
|
Seluruh
tubuh kemerahan
|
Detak
jantung
|
Tidak
ada
|
<
100 X per menit
|
>100 X per menit
|
Reflex
menangis
|
Tidak
ada
|
Menyeringai
|
Batuk/bersin
|
Tonus
otot
|
Tidak
ada
|
Ekstremitas
fleksi lemah
|
Fleksi
kuat gerak aktif
|
Pernafasan
|
Tidak
ada
|
Tak
teratur
|
Tangis
kuat
|
Keterangan :
Nilai 0-3 :
asfiksia berat
Nilai 4-6 :
asfiksia sedang
Nilai 7-10 : normal
2) Aspirasi mekonium
Aspirasi mekonium
ini dapat menyebabkan kolaps paru-paru atau pneumotoraks
(Winkjosastro, 2007). Kesulitan pernafasan yang sering ditemukan pada bayi dismatur ialah sindrom aspirasi mekonium. Keadaan hipoksia intrauterine akan mengakibatkan janin
mengadakan ‘gasping’ dalam uterus.
Selain itu mekonium akan dilepaskan
ke dalam likour amnion seperti yang sering terjadi pada ‘subacute fetal distress’. Akibatnya cairan yang mengandung
mekonium yang lengket itu masuk ke dalam paru-paru janin karena inhalasi. Pada
saat lahir bayi akan menderita gangguan pernafasan yang sangat menyerupai
sindroma gangguan pernafasan idiopatik
(FK UI, 2007).
3)
Hipotermi
Bayi dengan berat badan lahir rendah mudah
kehilangan panas tubuh sehingga sulit mempertahankan suhu tubuhnya. Hal ini
disebabkan karena:
a) Permukaan tubuh bayi yang relative lebih luas
dibandingkan berat badannya menyebabkan kehilangan panas melalui kulit besar.
b) Suhu tubuh bayi dalam kandungan ibu ± 37oC
segera setelah lahir bayi berada dalam ruangan dengan suhu yang jauh lebih
rendah (± 25oC-28oC),
perbedaan suhu yang besar ini akan sangat mempengaruhi kehilangan panas tubuh
bayi
c) Jaringan subkutan pada bayi BBLR sangat tipis
sehingga bayi tidak mempunyai isolator untuk menghindarkan panas melalui kulit.
4)
Hipoglikemia
simtomatik
Hipoglikemia atau rendahnya kadar glukosa darah dan merupakan
penyebab utama kerusakan otak pada periode perinatal. Gejala-gejala yang timbul
biasanya lambat dan tidak khas: Lemah, bayi kurang aktif, pucat dan apnea. Hipoglikemia disebabkan makanan cadangan
pada bayi dengan berat badan lahir rendah sangat minim (Winkjosastro, 2007).
Keadaan ini terutama terdapat pada bayi laki-laki.
Penyebabnya belum jelas, tetapi mungkin sekali disebabkan oleh persediaan glikogen
yang sangat kurang pada bayi dismaturitas
(FK UI, 2007).
5) Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah adanya bilirubin dalam jumlah berlebih
sehingga menyebabkan ikterus.
Gejala-gejala yang menyertainya adalah tidak mau minum, lemah, muntah dan serangan
apnea. Hal ini disebabkan belum
sempurnanya fungsi hati untuk membentuk enzim glukuronil transferase, yaitu
suatu enzim yang berperan dalam metabolisme bilirubin (Winkjosastro, 2007).
Bayi dismatur
lebih sering mendapat hiperbilirubinemia
dibandingkan dengan bayi yang sesuai masa kehamilannya. Hal ini mungkin
disebabkan gangguan pertumbuhan hati. Menurut gruenwald hati pada bayi dismatur beratnya kurang dibandingkan
dengan bayi biasa (FK UI, 2007).
6)
Hipokalsemia
Hipokalsemia juga sering dijumpai pada bayi dengan berat badan
lahir rendah dengan gejala klinik yang tidak khas, bayi dapat apnea, tremor
atau kejang (Winkjosastro, 2007).
Studi jangka panjang telah memperlihatkan
peningkatan 38 kali lipat dalam insidensi disfungsi serebral (berkisar dari
ketidakmampuan belajar minor hingga pulsi serebral) pada bayi PJT cukup bulan dan
lebih banyak lagi jika bayi dilahirkan secara preterm (Norwitch, 2006).
7) Penyakit membrane hialin
Penyakit ini terutama mengenai bayi dismatur yang
preterm. Hal ini karena surfaktan
paru belum cukup sehingga alveoli
selalu kolaps (FK UI, 2007).
Minta izin buat di jadiin referensi kti teman sya..terimakasih infonya
BalasHapusMinta izin buat di jadiin referensi kti teman sya..terimakasih infonya
BalasHapus