Jumat, 04 Oktober 2013

Kecil Masa Kehamilan



Sejak tahun 1961 WHO telah mengganti istilah prematuritas dengan BBLR karena tidak semua bayi dengan berat kurang dari 2500 gram pada waktu lahir bayi prematur. Keadaan ini dapat disebabkan oleh 1) umur kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat yang sesuai (masa kehamilan dihitung mulai hari pertama haid terakhir dari haid yang teratur); 2) bayi yang beratnya kurang dari berat semestinya menurut masa kehamilannya (Kecil Masa Kehamilan/Perkembangan Janin Terhambat (PJT)/Intra Uterine Growth Retardation); atau karena kombinasi keduanya (Wiknjosastro, 2007).
Bayi Kecil Masa Kehamilan (KMK) adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasinya, artinya bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri (Syafrudin, 2009).
Umumnya janin dengan Kecil Masa Kehamilan (KMK) memiliki taksiran berat dibawah persentil ke-10. Artinya janin memiliki berat kurang dari 90 % dari keseluruhan janin dalam usia kehamilan yang sama (Bobak et all, 2004).
Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK) dalam bahasa Inggris disebut Small-for-Gestasional-Age (SGA) atau Small-For-Date (SFD), yaitu bayi yang lahir dengan keterlambatan pertumbuhan intrauterin dengan berat badan terletak dibawah persentil ke-10 dalam grafik pertumbuhan intrauterin (Wiknjosastro, 2007).
Bayi kecil masa kehamilan juga sering di sebut pertumbuhan janin terhambat yang merupakan gagalnya setiap janin untuk mencapai potensi pertumbuhannya secara penuh (Norwitch, 2006). Keadaan ini penting karena dapat mengenali satu kelompok bayi kecil masa kehamilan yang beresiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas perinatal (Moore, 2001).
Dismaturitas ialah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya kurang dibandingkan dengan berat badan seharusnya untuk masa gestasi bayi itu (KMK) (FK UI, 2007).
Istilah dismaturitas janin mengacu kepada sindrom dimana tahap perkembangan bayi kurang daripada yang diharapkan untuk periode kehamilan tersebut atau keadaan ini memperlihatkan perubahan yang bersifat kemunduran (regresi) dan tanda-tanda hipoksia intrauterin (Oxorn, 2010).
Bayi-bayi yang pertumbuhan intrauterinnya mengalami retardasi akan berukuran lebih kecil dibandingkan umur kehamilannya (SGA) (Oxorn, 2010).
Dengan definisi yang telah dikemukakan diatas, dismaturitas dapat terjadi ’preterm’, ’term’ atau ’postterm’. Nama lain yang sering digunakan ialah Kecil Masa Kehamilan (KMK), insufisiensi plasenta (FK UI, 2007), pertumbuhan janin yang lambat dalam uterus bisa mencerminkan adanya insufisiensi kronis intrauterin (Oxorn, 2010).
Di negara-negara maju, sekitar duapertiga bayi berat lahir rendah disebabkan oleh prematuritas, sedangkan di Negara-negara sedang berkembang sebagian besar bayi BBLR di sebabkan oleh pertumbuhan intrauterin terhambat atau Intra Uterin Growth Retardation (Varney, 2005).
Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) terbagi atas dua yaitu (Manuaba, 2001).:
1)    Gangguan pertumbuhan janin simetris
Memiliki kejadian lebih awal dari gangguan pertumbuhan janin yang tidak simetris, semua organ mengecil secara proporsional. Faktor yang berkaitan dengan hal ini adalah kelainan kromosom, kelainan organ (terutama jantung), infeksi TORCH (Toxoplasmosis, Other Agents<Coxsackie virus, Listeria>, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes simpleks), kekurangan nutrisi berat pada ibu hamil dan wanita hamil yang merokok.
2)    Gangguan pertumbuhan janin asimetris (tidak simetris)
Gangguan pertumbuhan janin asimetris memiliki waktu kejadian lebih lama dibandingkan gangguan pertumbuhan janin asimetris. Beberapa organ lebih terpengaruh dibandingkan yang lain, lingkar perut adalah bagian tubuh yang terganggu untuk pertama kalinya, kelainan panjang tulang paha umumnya terpengaruhi belakangan, lingkar kepala dan diameter biparietal juga berkurang. Faktor yang mempengaruhi adalah insufisiensi (tidak efisiensinya) plasenta yang terjadi karena gangguan kondisi ibu termasuk diantaranya tekanan darah tinggi dan diabetes dalam kehamilan.
Bentuk pelambatan atau penghentian pertumbuhan ini terjadi pada bayi-bayi dengan kemampuan pertumbuhan yang normal. Kelainan dasarnya berupa gangguan pada suplai zat gizi trans-plasenta (Oxorn, 2010).

Ada dua bentuk IUGR/PJ T yaitu (Wiknjosastro, 2007):
1)    Proportionate IUGR, janin yang menderita distress yang lama dimana gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi lahir sehingga berat, panjang dan lingkaran kepala dalam proporsi yang seimbang akan tetapi keseluruhannya masih di bawah masa gestasi yang sebenarnya. Bayi ini tidak menunjukkan adanya wasted oleh karena retardasi pada janin ini terjadi pada janin ini terjadi sebelum terbentuknya adipose tissue.
2)    Disproportionate IUGR, terjadi akibat distress subakut. Gangguan terjadi beberapa minggu sampai beberapa hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini panjang dan lingkaran kepala normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi. Bayi tampak wasted dengan tanda-tanda sedikitnya jaringan lemak di bawah kulit, kulit kering keriput dan mudah diangkat, bayi kelihatan kurus dan lebih panjang.
Pada bayi IUGR perubahan tidak hanya terhadap ukuran panjang, berat dan lingkaran kepala akan tetapi organ-organ didalam badan pun mengalami perubahan misalnya Drillen menemukan berat otak, jantung, paru, dan ginjal bertambah sedangkan berat hati, limpa, kelenjar adrenal dan thymus berkurang dibandingkan bayi premature dengan berat yang sama. Perkembangan dari otak, ginjal dan paru sesuai dengan masa gestasinya (Cunningham, 2005).
Tanda-tanda bayi Perkembangan Janin Terhambat (PJT)/Kecil Masa Kehamilan (KMK) menurut Dikes Provinsi NTB (2007) dan Syafrudin (2009), yaitu:
a)    Umur janin cukup tapi beratnya kurang dari 2500 gram
b)    Gerakannya aktif dan tangisnya kuat
c)    Kulitnya keriput, lemak dibawah kulitnya tipis
d)    Bayi perempuan labia mayora menutupi labia minora
e)    Bayi laki-laki testis mungkin telah turun
f)     Rajah telapak kaki lebih dari 1/3 bagian
g)    Menghisap kuat
b.    Etiologi
1)    Faktor Ibu
a)    Umur Ibu
Usia ibu saat melahirkan merupakan salah satu faktor resiko kematian perinatal, dalam kurun waktu reproduksi sehat diketahui bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-35 tahun. (Depkes RI, 2009)
Kehamilan, persalinan, dan kelahiran paling aman, pada kebanyakan aspek, bila ibu melahirkan bayi pada usia antara 20 dan 34 tahun. Ibu remaja, baik yang berusia lebih muda (13 sampai 17 tahun) maupun lebih tua (18 atau 19), memiliki peluang tinggi untuk melahirkan bayi premature atau mengalami retardasi pertumbuhan (Wheeler, 2003).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur ibu dengan hasil kehamilan. Pada umur < 20 tahun atau ≥ 35 tahun resiko terjadinya prematuritas dan komplikasi kehamilan akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena pada usia < 20 tahun kondisi ibu masih dalam masa pertumbuhan, sehingga masukan makanan banyak dipakai untuk ibu yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin (Rukiyah, 2007).
Secara fisik alat reproduksi pada umur < 20 tahun juga belum terbentuk sempurna. Pada umumnya rahim masih relative kecil karena pembentukan belum sempurna dan pertumbuhan tulang panggul belum cukup lebar karena rahim merupakan tempat pertumbuhan bayi, rahim yang masih relative kecil dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin (Rukiyah, 2007).
Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-35 tahun, kematian maternal meningkat kembali setelah 35 tahun ke atas (Wiknjosastro, 2007).
Pada usia 20 tahun merupakan resiko tinggi kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayi, hal ini disebabkan pada usia muda organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologisnya belum optimal dan secara psikologis belum tercapainya emosi dan kejiwaan yang cukup dewasa sehingga akan berpengaruh terhadap penerimaan kehamilannya yang akhirnya akan berdampak pada pemeliharaan dan perkembangan bayi yang dikandungnya. Sedangkan pada ibu yang tua, terutama pada ibu hamil dengan usia lebih dari 35 tahun merupakan resiko tinggi pula untuk hamil karena akan menimbulkan komplikasi pada kehamilan dan merugikan perkembangan janin selama periode kandungan. Secara umum hal ini karena adanya kemunduran fungsi fisiologis dari sistem tubuh (Cunningham, 2005).


b)   Paritas
Paritas adalah kehamilan yang menghasilkan janin hidup ataupun mati setelah viabilitas dapat dicapai dan bukan jumlah janin yang dilahirkan (Walsh, 2007).
Para adalah jumlah kehamilan yang berakhir dengan kelahiran bayi atau bayi telah mencapai titik mampu bertahan hidup (Varney, 2006).
Para adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang dapat hidup (viable) (Wiknjosastro, 2007).
Jadi, dari definisi di atas maka paritas adalah jumlah kehamilan yang berakhir dengan kelahiran bayi yang dapat hidup (viable).
Menurut Varney (2006), paritas diklasifikasikan menjadi :
1)    Primipara adalah seorang wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik mampu bertahan hidup.
2)    Multipara adalah seorang wanita yang sudah mengalami dua kehamilan atau lebih dengan janin mencapai titik mampu bertahan hidup
3)    Grande multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami empat atau lebih kehamilan yang berakhir pada saat janin telah mencapai batas viabilitas
Suatu peningkatan pada paritas seorang wanita dicapai hanya jika kehamilan menghasilkan janin yang mampu bertahan hidup (Varney, 2006).
Paritas 2-3 merupakan paritas yang paling aman ditinjau dari kematian maternal maupun kesehatan ibu dan bayinya, paritas 1 atau lebih dari 4 mempunyai resiko kematian tinggi (Wiknjosastro, 2007).
Pada umumnya BBLR meningkat sesuai dengan meningkatnya paritas ibu. Resiko untuk terjadinya BBLR tinggi pada paritas 1 kemudian menurun pada paritas 2 atau 3, selanjutnya meningkat kembali pada paritas 4 (Manuaba, 2001).
Pada ibu dengan grandemulti, alat reproduksi yang dimilikinya mengalami kemunduran daya lentur jaringan yang disebabkan terlalu sering melahirkan dengan usia yang tidak produktif (>35 tahun) menyebabkan terjadinya persalinan prematur sehingga bayi yang dilahirkan BBLR (Winkjosastro, 2007).

c)    Penyakit Ibu (Preeklampsia/Eklampsia)
Penyakit-penyakit yang diderita ibu seperti hipertensi, jantung, paru-paru, penyakit infeksi, gangguan gizi dan kebiasaan merokok dan pecandu alkohol serta kehamilan dengan interval yang pendek dapat menyebabkan gizi kurang yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat. Perubahan-perubahan mikrovaskuler akibat toksemia gravidarum, hipertensi, penyakit ginjal kronis dan diabetes mellitus menyebabkan pengurangan aliran darah ke uterus dan plasenta sehingga mengganggu pertumbuhan janin (Manuaba, 2001).
Biasanya tanda-tanda pre-eklampsia timbul dalam urutan pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre-eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada pre-eklampsia berat di dapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklamsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun meningkat lebih tinggi, edema menjadi lebih umum dan proteinuria bertambah banyak (Winkjosastro, 2007).
Temuan-temuan yang dilaporkan oleh Friedman dkk. pada para wanita dengan janin yang pertumbuhannya terhambat akibat preeklampsia berat mempunyai angka kematian pada masa bayi lebih tinggi (Cunningham, 2005).
Faktor-faktor terjadinya pre-eklampsia dan eklampsia adalah (Winkjosastro, 2007):
(1)  Jumlah primigravida, terutama primigravida muda
(2)  Distensi rahim yang berlebihan seperti hamil ganda, mola hidatidosa
(3)  Penyakit yang menyertai kehamilan, seperti Diabetes Mellitus, kegemukan
(4)  Jumlah umur ibu diatas 35 tahun
(5)  Preeklampsia berkisar antara 3%-5% dari kehamilan yang di rawat
Karena patofisiologi preeklampsia menyebabkan insufisiensi plasenta dan uterus, maka janin beresiko mengalami hipoksia kronis dan IUGR (Varney, 2005).
Pada beberapa wanita hamil, terjadi peningkatan sensitivitas vaskuler terhadap angiotensin II. Peningkatan ini menyebabkan hipertensi dan kerusakan vaskuler, akibatnya akan terjadi vasospasme. Vasospasme menurunkan diameter pembuluh darah  ke semua organ, fungsi-fungsi organ seperti plasenta, ginjal, hati dan otak menurun sampai 40-60%. Gangguan plasenta menimbulkan degenerasi pada plasenta dan kemungkinan terjadi IUGR dan IUFD pada fetus. Aktivitas uterus dan sensitifitas terhadap oksitosin meningkat (Maryunani, 2009).
d)   Komplikasi kehamilan (Ketuban pecah dini (KPD)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan setelah ditunggu satu jam, belum ada tanda persalinan. Ketuban pecah dini adalah penyebab terbesar terjadinya kelahiran premature. Waktu sejak pecah ketuban sampai terjadi kontraksi rahim disebut “kejadian ketuban pecah dini” (periode laten). Kondisi ini merupakan penyebab terbesar persalinan prematur dengan segala akibatnya. Early rupture of membrane adalah ketuban pecah pada fase laten persalinan (Winkjosastro, 2007).
Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi khorioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal, dan menyebabkan infeksi ibu (Saifudin AB, 2009).
Insidensi KPD mendekati 10% dari semua persalinan, dan pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu, angka kejadiannya sekitar 4%. Sebagian dari KPD mempunyai periode lama melebihi satu minggu (Manuaba, 2001).
Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim karena salah satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatas dengan dunia luar. Pecahnya selaput ketuban dapat memudahkan terjadinya infeksi ascenden. Makin lama periode laten makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan premature dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi atau janin dalam rahim (Manuaba,2001). Pecahnya selaput ketuban sebelum aterm merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas perinatal. Mortalitas pada bayi preterm adalah 30 % (Oxorn, 2010).
Dengan pecahnya ketuban dapat terjadi pengurangan volume cairan amnion yang menekan tali pusat hingga dapat terjadi hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat (Winkjosastro, 2007).
Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu tidak terlalu banyak (Manuaba, 2001).
Penyebab KPD, meliputi hal-hal berikut (Manuaba, 2001) :
(1)  Serviks inkompeten
(2)  Ketegangan rahim berlebihan seperti pada kehamilan ganda, hidramnion
(3)  Kelainan letak janin dalam rahim seperti letak sungsang, letak lintang
(4)  Kemungkinan kesempitan panggul seperti perut gantung, bagian terendah belum masuk PAP (pintu atas panggul), disproporsi sefalopelvik
(5)  Kelainan bawaan dari selaput ketuban
(6)  Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.
Pada kehamilan aterm, 90 % persalinan terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50 % persalinan dalam 24 jam. Sedangkan pada kehamilan kurang dari 26 minggu, persalinan terjadi dalam 1 minggu (Saifudin, 2009).
Owen dkk menganalisis hasil akhir perinatal pada 178 kehamilan yang dilahirkan terutama karena hipertensi. Mereka membandingkannya dengan  159 kehamilan yang dilahirkan atas indikasi persalinan spontan atau pecah ketuban preterm spontan. Mereka menyimpulkan bahwa kehamilan yang mengalami “stress”, yang sering mengakibatkan dilahirkannya bayi kecil masa kehamilannya, tidak memberikan keuntungan yang besar bagi ketahanan hidup (Cunningham, 2005).
c.    Diagnosis
Secara klinik awal pertumbuhan janin yang terhambat dikenal setelah 28 minggu (Saifudin AB, 2009).
Karena mortalitas perinatalnya tinggi, diagnosis dini amat penting. Namun demikian, diagnosis dini sulit ditegakkan dan hanya dibuat pada sepertiga kasus. Screening test yang bisa diandalkan belum ada. Sering bayi yang mengalami retardasi pertumbuhan ini diketahui hanya setelah lahir. Sebaliknya overdiagnosis merupakan masalah, hanya sepertiga dari bayi-bayi yang dicurigai menderita retardasi pertumbuhan itu yang ternyata benar demikian. Hal ini mengakibatkan pemeriksaan dan interfensi yang tidak diperlukan (Oxorn, 2010).
IUGR dapat terlewat tidak terdiagnosis kecuali ahli obstetrik menetapkan umur gestasi yang benar pada janin, mengenali faktor-faktor beresiko tinggi dari data dasar obstetrik dan secara berkala menilai pertumbuhan janin dengan ketinggian fundus atau ultrasonografi. Penilaian sonografik yang menyeluruh harus dilakukan bila 1) Tinggi fundus berkurang lebih dari 2 cm di banding umur gestasi yang sudah ditegakkan dengan baik atau 2) Ibu menghadapi keadaan yang beresiko tinggi seperti misalnya hipertensi yang telah ada, penyakit ginjal yang kronis, diabetes yang parah dengan keterlibatan pembuluh darah, preeklampsia, penyakit virus, kecanduan pada nikotin, alkohol, atau obat keras (Moore, 2001).
Tanda-tanda retardasi pertumbuhan intra-uterin atau insufisiensi plasenta jarang timbul sebelum 28 minggu kehamilan. Gambaran klinisnya yaitu (Oxorn, 2010):
1.    Uterus dan janin tidak berhasil tumbuh dengan kecepatan normal selama jangka waktu 4 minggu.
2.    Tinggi fundus uteri sedikitnya 2 cm lebih rendah daripada yang diperkirakan menurut umur/ lamanya kehamilan.
3.    Berat badan Ibu tidak meningkat
4.    Gerakan janin semakin berkurang
5.    Uterus sering mudah terangsang
6.    Volume cairan ketuban menurun
d.    Akibat-akibat yang di timbulkan pada bayi KMK
Masalah bayi BBLR Perkembangan Janin Terhambat (PJT)/Kecil Masa kehamilan (KMK) menurut Wiknjosastro dan Dikes Provinsi NTB (2007):
1.    Pada bayi-bayi Kecil Masa Kehamilan (KMK), alat-alat dalam tubuhnya sudah bertumbuh lebih baik bila dibandingkan dengan bayi prematur dengan berat yang sama. Dengan demikian, bayi KMK yang tidak prematur lebih mudah hidup di luar kandungan. Walaupun demikian, harus waspada akan terjadinya beberapa komplikasi yang harus ditanggulangi dengan baik, seperti:
a.    Aspirasi mekoneum yang sering diikuti pneumotoraks.
b.    Hipoglikemia
c.    Keadaan lain yang mungkin terjadi seperti asfiksia, perdarahan paru yang masif, hipotermia, cacat bawaan akibat kelainan kromosom, cacat bawaan oleh karena infeksi intrauterin, dan sebagainya.
Sekalipun berat janin lebih kecil dari umur kehamilannya, tetapi pertumbuhan organ-organnya lebih sempurna sehingga kemampuannya lebih baik (Manuaba, 2001).
Komplikasi bayi dengan PJT memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas perinatal yang lebih tinggi pada usia gestasi berapapun, tetapi memiliki prognosis yang lebih baik daripada bayi dengan berat badan lahir sama yang dilahirkan pada usia gestasi yang lebih awal. Sayangnya morbiditas neonatus akan ditemukan pada 50 % neonatus PJT  yaitu (Norwitch, 2006) :
1)    Asfiksia
Asfiksia bayi baru lahir adalah dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera setelah bayi  lahir (Wiknjosastro, 2007).
Pada bayi BBLR baik cukup bulan maupun kurang bulan dapat mengalami gangguan pernafasan oleh karena bayi menelan air ketuban sehingga masuk ke dalam paru-paru dan kemudian mengganggu pernafasan, semua berdampak pada proses adaptasi pernafasan waktu lahir sehingga mengalami asfiksia lahir (Proverawati, 2010)
a)    Penilaian dengan nilai APGAR
Nilai APGAR adalah suatu alat yang sangat baik untuk menilai status keseluruhan pada neonatus segera setelah kelahiran (1 menit) dan setelah periode singkat observasi (5 menit). Nilai APGAR yang normal adalah 7 atau lebih besar pada 1 menit dan 9 atau 10 pada 5 menit (Hacker, 2001).
Nilai (skor) APGAR tidak digunakan sebagai dasar keputusan untuk tindakan resusitasi. Penilaian harus dilakukan segera sehingga keputusan resusitasi tidak didasarkan pada penilaian APGAR; tetapi cara APGAR tetap dipakai untuk menilai kemajuan kondisi BBL pada saat 1 menit dan 5 menit setelah kelahiran (Depkes RI, 2007).







                        Berikut Nilai APGAR secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 2.1
Tabel 2.1. Nilai APGAR ( Varney, 2007 ).
Klinis
0
1
2
Warna kulit
Biru pucat
Tubuh merah, ekstremitas biru
Seluruh tubuh kemerahan
Detak jantung
Tidak ada
< 100 X per menit
>100 X per menit
Reflex menangis
Tidak ada
Menyeringai
Batuk/bersin
Tonus otot
Tidak ada
Ekstremitas fleksi lemah
Fleksi kuat gerak aktif
Pernafasan
Tidak ada
Tak teratur
Tangis kuat

Keterangan :                                                                       
Nilai 0-3   : asfiksia berat
Nilai 4-6   : asfiksia sedang
Nilai 7-10 : normal
2)    Aspirasi mekonium
Aspirasi mekonium ini dapat menyebabkan kolaps paru-paru atau pneumotoraks (Winkjosastro, 2007). Kesulitan pernafasan yang sering ditemukan pada bayi dismatur ialah sindrom aspirasi mekonium. Keadaan hipoksia intrauterine akan mengakibatkan janin mengadakan ‘gasping’ dalam uterus. Selain itu mekonium akan dilepaskan ke dalam likour amnion seperti yang sering terjadi pada ‘subacute fetal distress’. Akibatnya cairan yang mengandung mekonium yang lengket itu masuk ke dalam paru-paru janin karena inhalasi. Pada saat lahir bayi akan menderita gangguan pernafasan yang sangat menyerupai sindroma gangguan pernafasan idiopatik (FK UI, 2007).
3)    Hipotermi
Bayi dengan berat badan lahir rendah mudah kehilangan panas tubuh sehingga sulit mempertahankan suhu tubuhnya. Hal ini disebabkan karena:
a)    Permukaan tubuh bayi yang relative lebih luas dibandingkan berat badannya menyebabkan kehilangan panas melalui kulit besar.
b)    Suhu tubuh bayi dalam kandungan ibu ± 37oC segera setelah lahir bayi berada dalam ruangan dengan suhu yang jauh lebih rendah  (± 25oC-28oC), perbedaan suhu yang besar ini akan sangat mempengaruhi kehilangan panas tubuh bayi
c)    Jaringan subkutan pada bayi BBLR sangat tipis sehingga bayi tidak mempunyai isolator untuk menghindarkan panas melalui kulit.
4)    Hipoglikemia simtomatik
Hipoglikemia atau rendahnya kadar glukosa darah dan merupakan penyebab utama kerusakan otak pada periode perinatal. Gejala-gejala yang timbul biasanya lambat dan tidak khas: Lemah, bayi kurang aktif, pucat dan apnea. Hipoglikemia disebabkan makanan cadangan pada bayi dengan berat badan lahir rendah sangat minim (Winkjosastro, 2007).
Keadaan ini terutama terdapat pada bayi laki-laki. Penyebabnya belum jelas, tetapi mungkin sekali disebabkan oleh persediaan glikogen yang sangat kurang pada bayi dismaturitas (FK UI, 2007).
5)    Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah adanya bilirubin dalam jumlah berlebih sehingga menyebabkan ikterus. Gejala-gejala yang menyertainya adalah tidak mau minum, lemah, muntah dan serangan apnea. Hal ini disebabkan belum sempurnanya fungsi hati untuk membentuk enzim glukuronil transferase, yaitu suatu enzim yang berperan dalam metabolisme bilirubin (Winkjosastro, 2007).
Bayi dismatur lebih sering mendapat hiperbilirubinemia dibandingkan dengan bayi yang sesuai masa kehamilannya. Hal ini mungkin disebabkan gangguan pertumbuhan hati. Menurut gruenwald hati pada bayi dismatur beratnya kurang dibandingkan dengan bayi biasa (FK UI, 2007).
6)    Hipokalsemia
Hipokalsemia juga sering dijumpai pada bayi dengan berat badan lahir rendah dengan gejala klinik yang tidak khas, bayi dapat apnea, tremor atau kejang (Winkjosastro, 2007).
Studi jangka panjang telah memperlihatkan peningkatan 38 kali lipat dalam insidensi disfungsi serebral (berkisar dari ketidakmampuan belajar minor hingga pulsi serebral) pada bayi PJT cukup bulan dan lebih banyak lagi jika bayi dilahirkan secara preterm (Norwitch, 2006).
7)    Penyakit membrane hialin
Penyakit ini terutama mengenai bayi dismatur yang preterm. Hal ini karena surfaktan paru belum cukup sehingga alveoli selalu kolaps (FK UI, 2007).

2 komentar:

  1. Minta izin buat di jadiin referensi kti teman sya..terimakasih infonya

    BalasHapus
  2. Minta izin buat di jadiin referensi kti teman sya..terimakasih infonya

    BalasHapus