Kognitif merupakan proses pekerjaan pikiran yang
dengannya kita menjadi waspada akan objek pikiran atau persepsi, mencakup semua
aspek pengamatan, pemikiran dan ingatan (Kumala, 1998).
Kognitif
yang dalam bahasa latin dikenal dengan cognocere yang berarti
mengetahui atau proses mental dalam memperoleh pengetahuan, kemampuan intelektual. Adapun kinerja
intelektual pada usia pertengahan menetap bila tidak disertai dengan penyakit
yang lain, kemampuan intelektual ini meliputi kemampuan verbal dalam bidang
vokabular (kosa kata), informasi dan komprehensi (Lumbantobing, 2006).
Jadi
kemampuan kognitif ini dapat berbeda antara satu individu dengan individu yang
lain, tergantung pada individunya untuk tetap memaksimalkan fungsi otak, termaksud memaksimalkan fungsi kognitifnya.
1.
Perubahan Kognitif Pada Lansia
Pada lanjut usia
yang sehat telah dilakukan beberapa penelitian, termasuk penelitian
tentang perubahan kognitif yang terjadi berupa perubahan intelektual, memori dan beberapa variabel psikologi
lainnya. Dari berbagai penelitian tersebut diketahui bahwa kinerja intelektual
pada lansia yang diukur dengan menggunakan tes kemampuan verbal dalam bidang
vokabular (kosa kata), informasi dan komprehensi mencapai puncaknya pada usia
20-30 tahun dan kemudian menetap sepanjang hidup, setidak-tidaknya sampai usia
pertengahan 80-an tahun, bila tidak ada penyakit (Lumbantobing, 2006).
Kemampuan melaksanakan tugas yang diberi batas waktu,
yang terkait waktu, yang membutuhkan kecepatan, misalnya dalam kecepatan
mengolah informasi, mencapai puncaknya pada usia sekitar 20 tahun, kemudian
menurun lambat laun sepanjang hidup, walaupun sebagian dari penurunan kecepatan
ini diakibatkan oleh perubahan dalam
bidang motorik dan kemampuan persepsi, namun diperoleh bukti lebih lanjut bahwa
kecepatan pemprosesan di pusat saraf menurun dengan meningkatnya usia.
Perubahan ini dialami oleh hampir semua orang yang mencapai usia 70-an, akan
tetapi ditemukan juga adanya penyimpangan berupa kemampuan beberapa orang yang
berusia 70 tahun tetap dapat melaksanakan tugasnya lebih baik dari yang berusia
20 tahun (Lumbantobing, 2006). Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kemampuan
potensi otak yang dimiliki oleh setiap individu adalah berbeda, tergantung
kepada individu tersebut untuk tetap memberikan stimulus kepada otak
(Kusumoputro, 2006).
Lebih lanjut Lumbantobing (2006) menjelaskan tentang
kemunduran kognitif yang dialami oleh lansia, terdapat pada performance terutama pada tugas yang
membutuhkan kecepatan dan juga pada tugas yang memerlukan memori jangka pendek,
hal ini dapat dilihat dengan adanya kelambanan dalam melakukan tugas. Akan
tetapi perlu diperhatikan bahwa kemunduran tergantung kepada tes yang
diberikan. Pada tes thurstone word
fluency, dimana subjek disuruh menuliskan sebanyak-banyaknya kata yang
dimulai dengan huruf tertentu selama
jangka waktu 5 menit, kemudian dilanjutkan dengan pemberian tugas berupa
menuliskan sebanyak-banyaknya kata yang
terdiri dari empat huruf bermula dengan huruf tertentu selama jangka waktu
empat menit, dan hasilnya didapatkan
tanda kemunduran yang relatif dini dengan melanjutnya usia. Sedangkan pada tes oral fluency test dimana subjek
menyebutkan kata yang dimulai dengan huruf tertentu, sebanyak-banyaknya dalam
satu menit, diperoleh hasil kemampuan tidak menurun sampai usia 75 tahun.
Seiring dengan bertambahnya usia juga terdapat
beberapa kemunduran dalam hal kognitif,
yaitu kemunduran tugas yang terkait waktu, yang membutuhkan kecepatan.
Disamping kemunduran, perlambatan juga terjadi seiring dengan bertambahnya
usia, misalnya pada tugas sederhana, persepsi sensorik, tugas yang kompleks
yang membutuhkan pemprosesan sentral, kecepatan menambah hitungan, serta
kecepatan dalam hal menyalin kata-kata. Namun tidak dapat dipungkiri pada beberapa
tes terlihat bahwa lansia lebih berhati-hati, dan membuat lebih sedikit
kesalahan (Lumbantobing, 1999).
2.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kognitif
Pada umumnya lansia akan mengalami penurunan pada
kemampuan otak dan tubuh. Penurunan inilah yang kemudian membuat lansia mudah
jatuh sakit, pikun, dan frustasi. Meskipun demikian menurut Supardjiman (2005),
penurunan kemampuan otak ini dapat diperbaiki dengan senam otak dan
meningkatkan kebugaran secara umum (Munir, 2003). Karena senam otak tidak saja
akan memperlancar aliran darah dan oksigen ke otak, tetapi juga dapat
merangsang ke dua belahan otak untuk bekerja (Supardjiman, 2005).
Selain melakukan senam para lansia juga harus
memperhatikan dan memperbaiki perilaku hidup. Misalnya memperhatikan makanan
yang dimakan, melakukan olah raga minimal 3 kali seminggu, selalu cukup
istirahat, dan tidak tidur larut malam (Supardjiman, 2005). Lebih lanjut
Heimberg (2006) menjelaskan guna dapat memastikan kinerja terbaik dari milyaran
sel otak dapat dilakukan dengan menyesuaikan makanan, karena ada
neurotransmiter yang paling berhubungan dengan kognitif khususnya persepsi dan
memori yaitu acetycholine (sejenis
asam amino) yang banyak terkandung di dalam makanan. Tidak hanya makanan, minum
air putih sebanyak-banyaknya juga penting. Selain mengandung mineral, air putih
juga membantu memperlancar peredaran darah dan oksigenasi keseluruhan tubuh
(Supardjiman, 2005). Heimberg (2006) mengatakan bahwa kehidupan yang aktif dan
senantiasa merangsang intelektual ada kaitannya dengan kemampuan yang tak
pernah surut dalam kemampuan pemecahan masalah, keterampilan spasial, kemampuan
berbahasa, dan daya adaptasi terhadap perubahan.
Heimberg (2006) menjelaskan bahwa kemampuan kognitif
dalam hal ini adalah daya ingat dan memori, dapat ditingkatkan dan diperkuat
seperti daya intelektual lainnya dengan terus memberikan tantangan-tantangan
kepada memori atau aspek kognitif lainnya. Tantangan tersebut dapat berupa
stimulus-stimulus baru. Jika stimulasi diberikan secara terus menerus dan
terarah, maka intelegensi manusia dapat ditingkatkan (Kusumoputro, 2006).
Selain itu untuk mempertajam atau meningkatkan kemampuan kognitif dapat
digunakan beberapa strategi melalui nutrisi suara, latihan fisik, manajemen
stress, dan beberapa teknik lain seperti yang telah dijelaskan oleh
Supardjiman.
Ahli memori Arthur Bornstein dalam Heimberg (2006)
menyebut stres berat sebagai musuh nomor satu bagi memori yang baik. Perasaan
cemas akan memperburuk aspek kognitif, karena cemas berat akan mengakibatkan
seseorang menjadi tidak waspada terhadap objek pikiran atau persepsi.
Supardjiman (2005) menyimpulkan bahwa dengan senam
otak dan perilaku hidup yang sehat, maka dijamin kualitas hidup lansia akan
meningkat dan bisa produktif lagi.
3.
Gangguan Kognitif
a.
Klasifikasi
1).
Konfusio
Konfusio akut adalah suatu akibat gangguan menyeluruh fungsi kognitif
yang ditandai oleh memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan
kewaspadaan dan terganggunya proses berpikir yang berakibat terjadinya
disorientasi (Darmojo, 2004).
2).
Dimensia
Menurut Brocklehurst and Allen (1987) yang dikutip dari Darmojo (2004),
dimensia adalah suatu sindroma klinik yang meliputi hilangnya fungsi
intelektual dan ingatan/memori sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi
hidup sehari-hari.
Dimensia pada usia lanjut diklasifikasikan secara garis besar yaitu :
Demensia degeneratif primer, demensia multi infark, demensia yang
reversibel atau sebagian reversibel, gangguan lain terutama neurologik.
b.
Penyebab
Penurunan daya ingat dan kemampuan psikomotor tidak secara
langsung disebabkan oleh penuaan akan tetapi penuaan mengakibatkan terjadinya
perubahan anatomi dan biokimiawi di susunan saraf pusat yang kemudian
menyebabkan penurunan daya ingat (Martono, 1999). Yatim (2003) mengelompokkan
penyebab dimensia yang merupakan salah satu sindrom yang ditandai dengan adanya
gangguan kognitif yang dialami oleh lansia menjadi tiga kelompok besar yaitu
keracunan metabolisme, kelainan struktur jaringan otak, dan penyakit infeksi.
Darmojo (2004), mengelompokkan penyebab gangguan
kognitif sebagai berikut :
1).
Konfusio
Keadaan patologik intraserebral, keadaan patologik ekstraserebral, dan
penyebab iatrogenik.
2).
Dimensia
(a). Keadaan
yang secara potensial reversibel, misalnya intoksikasi, infeksi susunan saraf,
gangguan metabolik, gangguan nutrisi, gangguan vaskuler, lesi desak ruang,
hidrosefalus bertekanan normal, dan depresi.
(b). Penyakit
degeneratif progresif
(1). Tanpa
gejala neurologik penting lain, yaitu penyakit alzheimer dan penyakit pick.
(2). Dengan
gejala neurologik lain yang prominen, yaitu penyakit parkinson, penyakit huntington , kelumpuhan
supranuklear progresif, dan penyakit degeneratif lain yang jarang didapat.
c.
Manifestasi Klinis
Gangguan kognitif pada lansia, dapat dimanifestasikan
dengan adanya gangguan/penurunan daya ingat (memori), dan beberapa gangguan
kognitif lain berupa gangguan berbahasa, kurang mampu melakukan gerakan
motorik, meskipun tidak ada kelumpuhan (apraxia),
kurang mampu mengenal dan mengidentifikasi benda (agnosia) meskipun fungsi sensoris tetap utuh, serta gangguan fungsi
eksekutif yaitu penurunan kemampuan dalam merencanakan, mengorganisir,
mengurutkan dan kemampuan abstraksi (Yatim, 2003).
Lebih lanjut Darmojo (2004), memberikan gambaran
klinik konfusio dan dimensia, sebagai
berikut :
1).
Konfusio
Pada lansia dengan konfusio
berupa kesadaran berkabut disertai derajat kewaspadaan yang berfluktuasi.
Gangguan pada memori jangka pendek mungkin disertai dengan gangguan mengingat
memori jangka panjang dan halusinasi atau mis-interpretasi visual, penurunan
mendadak dari kemampuan untuk mempertahankan perhatian terhadap rangsangan
luar atau perhatian mudah teralihkan
dengan rangsangan dari luar yang baru, gangguan
persepsi, antara lain ilusi, delusi,
halusinasi dan misinterpretasi, terganggunya siklus bangun tidur dengan
terjadinya insomnia tetapi siang hari tertidur,
aktivitas psikomotor meningkat atau menurun, disorientasi waktu, tempat,
dan orang, serta terjadinya gangguan memori yaitu tidak mampu mengingat
kejadian yang baru terjadi.
2).
Dimensia
Adapun garis besar menifestasi klinis pada lansia dengan dimensia adalah
sebagai berikut :
(a). Perjalanan
penyakit yang bertahap (biasanya selama beberapa bulan atau tahun)
(b). Tidak
terdapat gangguan kesadaran (penderita tetap sadar).
Lumbantobing (2006) mengatakan bahwa untuk mengidentifikasi
gangguan kognitif maupun tingkat kognitif yang terjadi pada lansia maka dapat
digunakan tes mini mental sebagai berikut :
Tabel 2.1 Tes Mini Mental Untuk Mengukur Tingkat
Kognitif Lansia
No. Pertanyaan Score Nilai
1. Sebutkan
tahun berapa sekarang 1
Sebutkan musim apa sekarang 1
Sebutkan tanggal berapa sekarang 1
Sebutkan bulan berapa sekarang 1
2. Sebutkan
dimana kita sekarang 1
Sebutkan
negara kita sekarang 1
Sebutkan
propinsi kita sekarang 1
Sebutkan
kota kita
sekarang 1
Sebutkan
rumah sakit di kota
kita sekarang 1
Sebutkan
di bagian mana kita sekarang 1
3. Pemeriksa menyebutkan tiga nama benda
dengan 3
antara
1 detik menyebut nama tersebut.
Setelah
selesai
suruh lansia menyebutkannya
4. Hitungan
kurang 7. Sebanyak 5 jawaban. Mis : 5
100-7=93,
93-7=86, 86-7=79, 79-7=72, 72-7=65.
Atau
mengeja mundur kata Kartu (Utrak)
5. Tanyakan
kembali nama benda
yang telah 3
Disebut
pada pertanyaan no.3
6. Anda tunjuk pada pensil dan arloji.
Suruh 2
lansia menyebutkan
nama benda yang anda
tunjuk
7. Suruh
lansia mengulangi kalimat
berikut: 1
“Tanpa
Kalau, dan atau Tetapi”
8. Suruh lansia melakukan suruhan tiga
tingkat, 3
yaitu: Ambil kertas
dengan tangan kananmu.
Lipat dua
kertas itu.
Dan
letakkan kertas itu di lantai
9. Anda
tuliskan kalimat suruhan dan suruh 1
lansia melakukannya:
“Tutup
matamu”
10. Suruh lansia menulis
satu kalimat
1
pilihannya sendiri
(kalimat harus mengandung
objek dan harus mempunyai
makna).
11.
Perbesar gambar segi lima sampai 1,5 cm 1
tiap sisi sehingga membentuk segi
empat
Jumlah Skor 30
Adapun skor pada tes mini mental ini dikelompokkan
sebagai berikut :
Skor 24-30 = Normal
Skor 19-23 = Gangguan kognitif ringan
Skor 11-18 = Gangguan kognitif sedang
Skor 0-10 = Gangguan kognitif berat (Liquorezos,
2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar