Jumat, 04 Oktober 2013

Osteoporosis

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah patah (Sudoyono, dkk., 2006).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), osteoporosis adalah penurunan densitas tulang, kerusakan arsitektur tulang, dan meluasnya kerapuhan tulang sehingga menurunkan kekuatan tulang dan meningkatnya resiko patah tulang (Admin, 2008).
Osteoporosis termasuk penyakit gangguan metabolisme, dimana tubuh tidak mampu menyerap dan menggunakan bahan-bahan untuk proses pertulangan secara normal, seperti zat kapur = kalk ( calsium), phospat, dan bahan-bahan lain. Pada keadaan ini terjadi pengurangan massa /jaringan tulang per unit volume tulang dibandingkan dengan keadaan normal. Atau dengan bahasa awam, tulang lebih ringan dan lebih rapuh. Meskipun mungkin zat-zat dan mineral untuk pembentuk tulang di dalam darah masih dalam batas nilai normal (Yatim, 2003).

1.    Faktor-faktor Resiko Osteoporosis :
Osteoporosis dapat menyerang dengan faktor resiko yang berbeda–beda. Faktor resiko memang harus diketahui agar terhindar dari osteoporosis dan secara dini melakukan pencegahan atau pengobatan.
Menurut Waluyo (2009), faktor resiko osteoporosis di kelompokan menjadi dua, yang dapat dikendalikan dan yang tidak dapat dikendalikan.
1.      Berikut ini adalah faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan :
a.       Jenis kelamin
Kaum wanita mempunyai faktor resiko terkena osteoporosis lebih besar dibandingkan dengan kaum pria. Menurut data penelitian, sekitar 80 % penderita osteoporosis adalah wanita. Dari hasil penelitian diketahui pula bahwa satu dari tiga wanita cenderung menderita osteoporosis. Sedangkan pada pria, kecenderungan menderita osteoporosis adalah satu dari lima atau tujuh pria. Penyebabnya adalah massa tulang wanita 4 kali lebih kecil dibandingkan dengan masa tulang pria. Massa tulang wanita umumnya 800 gram dibandingkan dengan massa tulang pria yang umumnya 1200 gram. Karena itu kehilangan massa tulang yang diikuti dengan kerapuhan tulang juga lebih sering pada wanita (Waluyo, 2009).
b.      Usia
Semakin tua usia, resiko terkena osteoporosis semakin besar karena secara alamiah tulang semakin rapuh sejalan dengan pertambahan usia. Resiko terjatuh dan patah tulang pun bertambah disebabkan faktor kesehatan lansia seperti gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan pada keseimbangan tubuh, otot semakin lemah dll. Selain itu proses kepadatan tulang hanya berlangsung samapai usia 25 – 30 tahun yang disebut massa tulang puncak ( peak bone mass ). Setelah itu kondisis tulang akan konstan sampai usia 40-an. Lalu densitas tulang pun mulai berkurang seiring dengan berkurangnya produksi hormon estrogen karena proses penuaan. Ini terjadi sepanjang sisa usia. Dengan demikian, osteoporosis pada usia lanjut terjadi karena berkurangnya massa tulang yang juga disebabkan menurunya kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium (Tandra, 2009).
c.       Ras
Semakin terang kulit seseorang semakin tinggi resiko terkena osteoporosis. Karena itu ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia beresiko lebih tinggi terkena osteoporosis dibandingkan dengan ras Afrika hitam. Dengan kata lain, ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat dibandingkan dengan ras kulit putih dari Eropa (Waluyo, 2009).
d.      Pigmentasi dan tempat tinggal
Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah khatulistiwa, mempunyai resiko terkena osteoporosis yang lebih rendah dibanding dengan ras kulit putih yang tinggal di wilayah kutub seperti Norwegia dan Swedia (Waluyo, 2009).
e.       Riwayat keluarga
Jika ada  nenek atau ibu yang mengalami osteoporosis atau mempunyai massa tulang rendah, maka keturunannya cenderung beresiko tinggi terkena osteoporosis (Tandra, 2009).
f.       Sosok tubuh
Semakin mungil seseorang, semakin beresiko tinggi terkena osteoporosis. Demikian juga seseorang yang memiliki tubuh kurus lebih beresiko terkena osteoporosis dibanding yang bertubuh besar.
g.      Menopause
Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen karena tubuh tidak lagi memproduksinya. Padahal hormon estrogen dibutuhkan untuk pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Semakin rendahnya hormon estrogen seiring dengan bertambahnya usia, akan semakin berkurang kepadatan tulang sehingga terjadi pengeroposan tulang, dan tulang mudah patah.
2.      Berikut ini faktor-faktor resiko osteoporosis yang dapat dikendalikan. Faktor-faktor ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan dan pola hidup :
a.       Aktivitas fisik
Orang yang sejak balita kurang bergerak (sedentary), misalnya kurang berjalan, kurang gerak, hanya naik turun mobil, banyak duduk didepan TV dan sebagainya, maka puncak kepadatan tulangnya tidak sempurna, oleh karena itu sejak dini seseorang harus tetap bergerak untuk "menabung tulang" agar tulangnya cukup padat. Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak terlatih dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat menurunnya kekuatan tulang. Akibatnya massa tulang puncak tidak tercapai pada usia 25 tahun sebagaimana seharusnya sehingga orang yang bersangkutan akan cepat mengalami pengeroposan tulang yang menjurus menjadi osteoporosis (Isbagio, 2009).

b.      Pola makan
Menu makanan sehari-hari harus mengandung unsur gizi yang  dibutuhkan tubuh untuk membangun dan memperkuat tulang, yaitu mengandung protein, kalsium, fosfor, cukup vitamin D dan sinar matahari. Sinar matahari penting untuk pembentukan vitamin D, yang diperlukan untuk pembentukan tulang baru. Di negara yang kurang sinar matahari diperlukan suplemen vitamin D yang cukup (Isbagio, 2009).
c.       Merokok
Para perokok beresiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding bukan perokok. Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai kadar estrogen lebih rendah dan mengalami masa menopause 5 tahun lebih cepat dibandingkan wanita bukan perokok. Dengan demikian, wanita perokok lebih cepat pula kehilangan massa tulangnya. Secara umum, merokok menghambat kerja osteoblas sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kerja osteoklas dan osteoblas. Osteoklas lebih dominan. Akibatnya, pengeroposan tulang/osteoporosis terjadi lebih cepat (Waluyo, 2009).
d.      Minuman keras/beralkohol
Ini berlaku bagi para pecandu minuman keras (alcoholic) atau mereka yang minum lebih dari dua gelas per hari. Minum-minuman keras berlebihan akan mengganggu kesehatan tubuh secara keseluruhan, khususnya proses metabolisme kalsium. Alcohol berlebih dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding lambung. Dan ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan kalsium (yang ada dalam darah) yang dapat menurunkan massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan osteoporosis (Isbagio, 2009).
e.       Stres
Kondisi stress akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu kortiosol yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol yang tinggi akan meningkatkan pelepasan kalsium ke dalam peredaran darah. Pelepasan kalsium dalam kadar tinggi akan menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga meningkatkan resiko osteoporosis. Di sisi lain, meningkatnya hormon kortisol berpengaruh menekan hormon DHEA dan progesterone, juga menekan kerja hormon tiroid. Padahal hormon-hormon tersebut penting dalam proses metabolisme tulang. Karena itu dapat dimengerti jika metabolisme tulang menurun dan terjadi gangguan dalam pembentukan tulang yang bisa berakibat tulang rapuh dan mudah keropos (Tandra, 2009).
f.       Bahan kimia
Polusi bahan kimia diketahui berdampak negatif bagi kesehatan tubuh termasuk tulang. Bahan kimia seperti peptisida yang dapat ditemukan dalam bahan makanan (sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan bermotor, dam limbah industri seperti organoklorida yang dibuang sembarangan di sungai dan tanah. Ini membuat daya tahan tubuh menurun dan membuat pengeroposan tulang.

2.    Jenis-jenis osteoporosis
Osteoporosis dibagi menjadi 2 kelompok yaitu, osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer tidak diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder diketahui penyebabnya. Pada tahun 1940-an Albright mengemukakan pentingnya estrogen pada pathogenesis osteoporosis. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton, membagi osteoporosis primer atas osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I, disebut juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen juga menonjol pada osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian kalsium dan vitamin D pada osteoporosis tipe II juga tidak memberikan hasil yang adekuat. Akhirnya pada tahun 1990-an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat berperan pada timbulnya osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis (Sudoyono dkk., 2006).


3.    Patofisiologi osteoporosis
Tulang adalah suatu jaringan hidup, karena itu selalu terjadi regenerasi sel-sel tulang secara terus menerus agar tulang tetap menjadi kuat. Jadi tulang selalu mengalami pembongkaran dan penggantian sel-sel lama dengan sel-sel baru. Jika proses bongkar pasang sel-sel lama dan sel-sel baru tersebut seimbang, maka tulang akan tetap kuat. Namun saat laju penghancuran tulang lebih besar ketimbang laju pembentukan tulang, maka terjadilah keropos tulang (Waluyo, 2009).
Menyangkut proses bongkar pasang tersebut, dikenal dua tipe sel tulang, yaitu osteoklas (sel penghancur struktur tulang) dan osteoblas (sel pembangun/pembentuk tulang). Kedua sel ini dibuat oleh sumsum tulang. Dalam keadaan normal, osteoklas dan osteoblas bekerja bergantian, saling mengisi dan seimbang, sehingga tulang tetap utuh dan kuat. Dengan bertambahnya usia, osteoklas akan menjadi lebih aktif sedangkan osteoblas menurun, sehingga tulang lebih banyak dirusak ketimbang dibentuk kembali, dan terjadi pengurangan massa tulang (Tandra, 2009).
Selain itu, makin tua seseorang, penyerapan nutrisi juga makin tidak optimal sehingga asupan protein dan mineral tidak mampu mempertahankan kepadatan tulang. Akibatnya, tulang kekurangan asupan nutrisi untuk pembentukannya ditambah dengan makin melemahnya osteoblas, maka tulang makin lama makin rapuh bersamaan dengan bertambahnya usia. Munculah penyakit keropos tulang atau osteoporosis (Waluyo, 2009).
Defisiensi estrogen pada wanita menopause telah lama diketahui memegang peranan penting pada pertumbuhan tulang dan proses penuaan. Penurunan kadar estrogen akan memacu aktifitas remodeling tulang yang makin tidak seimbang karena osteoblast tidak dapat mengimbangi kerja osteoklast, sehingga massa tulang akan menurun dan tulang menjadi osteoporotik. Aktifitas osteoklast yang meningkat akan menyebabkan terbentuknya lacuna Howersip yang dalam dan terputusnya trabekula, sehingga kekuatan tulang akan menjadi turun dan tulang mudah fraktur (Sudoyono, dkk., 2006). Selain itu menurut Mangoenprasodjo (2004), estrogen pada wanita berperan penting dalam penyerapan kalsium yang diperlukan dalam pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Sehingga kekurangan hormon estrogen pada menopause menyebabkan tulang menjadi tipis dan mudah patah.

4.    Tanda-tanda osteoporosis
Osteoporosis merupakan “silent disease”, perjalanan penyakitnya sangat lambat, tidak segera menimbulkan keluhan. Penderitaan mulai timbul saat terjadi komplikasi, khususnya fraktur pada tulang belakang, panggul, dan pergelangan tangan. Fraktur dapat dipicu oleh peristiwa apa saja, atau bahkan bisa terjadi secara spontan. Kejadian fraktur pada wanita usia pascamenopause cukup tinggi dan risiko fraktur semakin bertambah pada usia di atas 60 tahun. Fraktur osteoporosis menimbulkan banyak kesulitan bagi penderitanya (Surjo, 2009 ).
Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai puluhan tahun tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur akan timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang.
Menurut Tandra (2009), seseorang dengan osteoporosis biasanya akan memberikan keluhan atau gejala sebagai berikut :
a.    Tinggi tulang berkurang
Penyebab penurunan tinggi badan (height loss) ini adalah fraktur tulang belakang (vertebra) yang umumnya tanpa keluhan, tetapi tubuh semakin pendek dan bungkuk. Bila terdapat penurunan tinggi badan sebanyak dua senti dalam tiga tahun terakhir, itu menandakan adanya fraktur tulang belakang yang baru (Tandra, 2009).
b.    Bungkuk atau bentuk tubuh berubah
Tubuh yang membungkuk (kiposis) atau dorsal kyphosis atau dowager’s hump, biasanya terjadi akibat kerusakan beberapa ruas tulang belakang dari daerah dada (thoracal) dan pinggang (lumbal). Osteoporosis pada tulang belakang ini menimbulkan fraktur kompresi atau kolaps tulang dan menyebabkan badan membungkuk ke depan. Kiposis yang berat bisa mengakibatkan gangguan pergerakan otot pernapasan. Seseorang bisa merasakan sesak napas, kadang bahkan timbul komplikasi pada paru-paru (Tandra, 2009).
c.    Tulang rapuh dan patah
Tulang yang rapuh atau patah dinamakan fragility fracture. Pada kondisi ini bisa terjadi patah tulang meskipun tidak harus timbul karena trauma yang hebat, melainkan cukup hanya dengan terjatuh biasa yang ringan, mengangkat, mendorong sesuatu, atau akibat trauma ringan, seperti misalnya ketika duduk, berdiri, batuk, bahkan sewaktu memeluk seseorang, sudah bisa menyebabkan tulang menjadi patah. Selain pada tulang belakang, fraktur sering pula menimpa tulang pergelangan tangan, pergelangan kaki, atau panggul. Fraktur multiple di beberapa tempat juga bisa terjadi. Fraktur yang terjadinya mendadak atau akut akan menimbulkan rasa nyeri yang hebat, yang kadang memerlukan obat penekan rasa nyeri yang kuat sampai pada golongan narkotika (Tandra, 2009).

5.    Bahaya osteoporosis
Osteoporosis menjadi salah satu penyebab penderitaan dan cacat, terutama pada lansia, berupa patah tulang, cacat tubuh, dan komplikasi yang bisa menyebabkan kematian. Menurut Tandra (2009), osteoporosis dapat berlangsung selama bertahun-tahun tanpa gejala apapun sampai suatu ketika terjadi patah tulang dan/ atau rasa nyeri berkelanjutan. Jika terjadi hal semacam itu, berarti keadaan sudah terlambat. Osteoporosis sudah lanjut, apalagi jika terjadi patah tulang belakang yang membuat penderita tidak dapat beraktivitas karena terpaksa harus terus berbaring (imobilisasi). Keadaan semacam ini bisa menimbulkan komplikasi infeksi saluran nafas dan saluran kemih. Selain rasa nyeri, penderita juga mengalami stress bahkan depresi. Ditambah biaya perawatan yang sangat tinggi yang juga harus dipikirkan/ disadari secara serius.
6.    Osteoporosis Pada Wanita Menopause
Defisiensi estrogen pada wanita menopause telah lama diketahui memegang peranan penting pada pertumbuhan tulang dan proses penuaan. Penurunan kadar estrogen akan memacu aktifitas remodeling tulang yang makin tidak seimbang karena osteoblast tidak dapat mengimbangi kerja osteoklast, sehingga massa tulang akan menurun dan tulang menjadi osteoporotik. Aktifitas osteoklast yang meningkat akan menyebabkan terbentuknya lacuna Howersip yang dalam dan terputusnya trabekula, sehingga kekuatan tulang akan menjadi turun dan tulang mudah fraktur (Sudoyono, dkk., 2006). Selain itu menurut Mangoenprasodjo (2004), estrogen pada wanita berperan penting dalam penyerapan kalsium yang diperlukan dalam pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Sehingga kekurangan hormon estrogen pada menopause menyebabkan tulang menjadi tipis dan mudah patah.

7.    Dampak Osteoporosis Pada Wanita Menopause
Dampak osteoporosis yang dapat terjadi pada wanita menopause adalah  terjadinya perubahan fisik, yaitu tubuh menjadi semakin pendek, bungkuk dan terjadi fraktur pada tulang belakang, tulang pergelangan tangan, pergelangan kaki, atau panggul (Tandra, 2009).
Dampak osteoporosis lainnya adalah gangguan imobilitas dan aktifitas serta gangguan citra tubuh yang berkaitan dengan adanya perubahan fisik yang terjadi pada penderita osteoporosis.

8.    Pencegahan dan Penanganan Osteoporosis
Menurut Setiyohadi dalam artikel “pencegahan osteoporosis” pencegahan osteoporosis sebaiknya dilakukan sejak masih dalam kandungan. Sang ibu harus mengkonsumsi kalsium dengan cukup sehingga tulang bayi dalam kandungan tumbuh optimal dan tidak mengambil cadangan kalsium dari tulang ibu (Admin, 2006).
Sofyanuddin dalam Hilmansyah (2007),  menyebutkan untuk menghindari osteoporosis seseorang mesti mencapai puncak kepadatan tulang (peak bone mess) yang bisa dicapai pada usia 25-30 tahun. Makin tinggi puncak kepadatan tulang yang dapat dicapai, maka makin besar perlindungan diri seseorang terhadap kemungkinan osteoporosis.
Ada beberapa hal yang dapat membantu tercapainya puncak kepadatan tulang yang tinggi, yaitu olah raga teratur, diet seimbang dan kaya kalsium serta menghindari rokok, alkohol, dan kafein. Olah raga penting untuk kesehatan tulang. Latihan yang terbaik untuk tulang adalah menumpu berat badan (weight bearing exercise), seperti jalan, jogging, dansa dan naik tangga. Yang harus diingat, aktivitas high impact seperti lari dan loncat tidak cocok untuk orang tua. Bagi lansia sebaiknya jalan kaki selama 30-40 menit sebanyak tiga kali seminggu. Kurangnya aktivitas yang lama akan menyebabkan hilangnya tulang (bone loss). Hal ini disebabkan kurangnya tarikan otot dan gaya tarik bumi terhadap tulang,
Menurut Irwan (2008), mengkonsumsi makanan yang mengandung nutrisi untuk  tulang baik dilakukan untuk pencegahan dini osteoporosis. Sayuran hijau, sayur-sayuran berdaun lebar, tahu, ikan sarden, dan salmon juga merupakan sumber makanan yang mengandung kalsium. Perlu pula mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak antioksidan seperti vitamin A yang terdapat dalam wortel, kentang, pepaya, labu, bunga kol, kangkung, semangka. Vitamin C yang terdapat dalam jeruk, pepaya, kecambah, kangkung, strawberry, atau vitamin E yang terdapat dalam minyak nabati, tauge, mineral selenium yang terdapat dalam bawang putih, kubis, wortel, lobak, bunga kol, salada, mentimun, ikan, mineral seng yang terdapat dalam hati dan daging hewani, kacang-kacangan dan lain-lain.
Nutrisi yang paling penting untuk pembentukan tulang adalah kalsium. Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat didalam tubuh manusia. Kira-kira 99% kalsium terdapat di jaringan keras yaitu tulang dan gigi. Ada 1 % kalsium terdapat dalam darah dan jaringan lunak. Untuk memenuhi kebutuhan yang 1 persen ini, tubuh mengambilnya dari makanan yang dimakan atau dari tulang, karena kebanyakan mineral dan vitamin memang tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh. Bila makanan yang masuk tidak dapat memenuhi kebutuhan, tubuh akan mengambilnya dari tulang. Sehingga tulang dapat dikatakan sebagai gudang cadangan kalsium tubuh. Jika terjadi dalam waktu yang lama, akan menimbulkan pengeroposan tulang (Tandra, 2009).
WHO menganjurkan bagi orang-orang dewasa rata-rata memerlukan kalsium di atas 500 mg per hari. Dengan bertambahnya usia, kalsium yang dibutuhkan akan semakin banyak. Sampai usia 50 tahun ke atas, atau wanita yang mencapai masa menopause, diperlukan elemen kalsium 1200 sampai 1500 mg dalam makanan sehari-hari (Waluyo, 2009).
Penelitian terhadap 36.262 wanita menopause oleh Women’s Health Institute di Amerika Serikat ditemukan bahwa 1000 mg kalsium ditambah 400 iu vitamin D setiap hari terbukti efektif mengurangi kejadian fraktur tulang panggul (Tandra, 2009).
Selain kalsium, mineral yang juga penting untuk kesehatan tulang adalah fosfor (phosphor), kalium (potassium), dan nutrium (sodium).
a.    Fosfor
Lebih dari setengah fosfor tubuh ditemukan dalam tulang. Dalam jumlah sampai  700 mg per hari, fosfor baik untuk pertumbuhan tulang. Namun, bila fosfor berlebihan sampai lebih dari 3000 mg, akan menarik kalsium keluar dari tulang sehingga terjadi osteoporosis. Minuman softdrink dan mengkonsumsi banyak makanan jadi, yang ternyata mengandung banyak fosfor juga harus dihindari (Tandra, 2009).
b.    Kalium
Bila tubuh kekurangan kalium, kompensasi tubuh adalah melepaskan kalsium dari tulang, sehingga terjadi pengeroposan tulang. Sumber kalium banyak terdapat pada buah, sayur, unggas, ikan, susu, yogurt (Tandra, 2009).
c.    Natrium
Garam atau natrium klorida bukan saja menaikkan tekanan darah (sehingga tidak baik bagi pasien jantung atau ginjal karena akan menimbulkan bengkak), tetapi bisa membuat orang menjadi gemuk dan tidak baik untuk tulang. Tambahan satu gram garam setiap hari akan meningkatkan pengeroposan tulang sebanyak 1 persen dalam 1 tahun, kecuali rajin mengkonsumsi kalsium untuk perbaikan tulang. Sebaliknya orang yang mengurangi konsumsi natrium 1-2 gram per hari, kebutuhan akan kalsium menjadi berkurang (Tandra, 2009).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar