Osteoporosis adalah penyakit tulang
sistemik yang ditandai dengan penurunan densitas massa tulang dan perburukan
mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada
tahun 2001, National Institute of Health (NIH)
mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang
ditandai oleh compromised bone strength sehingga
tulang mudah patah (Sudoyono, dkk., 2006).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), osteoporosis adalah penurunan densitas tulang, kerusakan arsitektur
tulang, dan meluasnya kerapuhan tulang sehingga menurunkan kekuatan tulang dan
meningkatnya resiko patah tulang (Admin, 2008).
Osteoporosis termasuk penyakit
gangguan metabolisme, dimana tubuh tidak mampu menyerap dan menggunakan
bahan-bahan untuk proses pertulangan secara normal, seperti zat kapur = kalk ( calsium), phospat, dan bahan-bahan
lain. Pada keadaan ini terjadi pengurangan massa /jaringan tulang per unit
volume tulang dibandingkan dengan keadaan normal. Atau dengan bahasa awam,
tulang lebih ringan dan lebih rapuh. Meskipun mungkin zat-zat dan mineral untuk
pembentuk tulang di dalam darah masih dalam batas nilai normal (Yatim, 2003).
1. Faktor-faktor Resiko
Osteoporosis :
Osteoporosis dapat menyerang dengan
faktor resiko yang berbeda–beda. Faktor resiko memang harus diketahui agar
terhindar dari osteoporosis dan secara dini melakukan pencegahan atau
pengobatan.
Menurut Waluyo (2009), faktor resiko
osteoporosis di kelompokan menjadi dua, yang dapat dikendalikan dan yang tidak
dapat dikendalikan.
1.
Berikut ini adalah faktor-faktor
yang tidak dapat dikendalikan :
a.
Jenis kelamin
Kaum wanita mempunyai faktor resiko terkena osteoporosis
lebih besar dibandingkan dengan kaum pria. Menurut data penelitian, sekitar 80
% penderita osteoporosis adalah wanita. Dari hasil penelitian diketahui pula
bahwa satu dari tiga wanita cenderung menderita osteoporosis. Sedangkan pada
pria, kecenderungan menderita osteoporosis adalah satu dari lima atau tujuh
pria. Penyebabnya adalah massa tulang wanita 4 kali lebih kecil dibandingkan
dengan masa tulang pria. Massa tulang wanita umumnya 800 gram dibandingkan
dengan massa tulang pria yang umumnya 1200 gram. Karena itu kehilangan massa
tulang yang diikuti dengan kerapuhan tulang juga lebih sering pada wanita
(Waluyo, 2009).
b.
Usia
Semakin tua usia, resiko terkena osteoporosis semakin
besar karena secara alamiah tulang semakin rapuh sejalan dengan pertambahan
usia. Resiko terjatuh dan patah tulang pun bertambah disebabkan faktor kesehatan
lansia seperti gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan pada
keseimbangan tubuh, otot semakin lemah dll. Selain itu proses kepadatan tulang
hanya berlangsung samapai usia 25 – 30 tahun yang disebut massa tulang puncak (
peak bone mass ). Setelah itu kondisis
tulang akan konstan sampai usia 40-an. Lalu densitas tulang pun mulai berkurang
seiring dengan berkurangnya produksi hormon estrogen karena proses penuaan. Ini
terjadi sepanjang sisa usia. Dengan demikian, osteoporosis pada usia lanjut terjadi
karena berkurangnya massa tulang yang juga disebabkan menurunya kemampuan tubuh
untuk menyerap kalsium (Tandra, 2009).
c.
Ras
Semakin terang kulit seseorang semakin tinggi resiko
terkena osteoporosis. Karena itu ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark)
dan Asia beresiko lebih tinggi terkena osteoporosis dibandingkan dengan ras
Afrika hitam. Dengan kata lain, ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat
dibandingkan dengan ras kulit putih dari Eropa (Waluyo, 2009).
d.
Pigmentasi dan tempat tinggal
Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah
khatulistiwa, mempunyai resiko terkena osteoporosis yang lebih rendah dibanding
dengan ras kulit putih yang tinggal di wilayah kutub seperti Norwegia dan
Swedia (Waluyo, 2009).
e.
Riwayat keluarga
Jika ada nenek
atau ibu yang mengalami osteoporosis atau mempunyai massa tulang rendah, maka
keturunannya cenderung beresiko tinggi terkena osteoporosis (Tandra, 2009).
f.
Sosok tubuh
Semakin mungil seseorang, semakin beresiko tinggi
terkena osteoporosis. Demikian juga seseorang yang memiliki tubuh kurus lebih
beresiko terkena osteoporosis dibanding yang bertubuh besar.
g.
Menopause
Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen
karena tubuh tidak lagi memproduksinya. Padahal hormon estrogen dibutuhkan
untuk pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Semakin rendahnya
hormon estrogen seiring dengan bertambahnya usia, akan semakin berkurang
kepadatan tulang sehingga terjadi pengeroposan tulang, dan tulang mudah patah.
2.
Berikut ini faktor-faktor resiko osteoporosis yang dapat
dikendalikan. Faktor-faktor ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan dan pola
hidup :
a.
Aktivitas fisik
Orang yang sejak balita kurang bergerak (sedentary),
misalnya kurang berjalan, kurang gerak, hanya naik turun mobil, banyak duduk
didepan TV dan sebagainya, maka puncak kepadatan tulangnya tidak sempurna, oleh
karena itu sejak dini seseorang harus tetap bergerak untuk "menabung
tulang" agar tulangnya cukup padat. Seseorang yang kurang gerak, kurang
beraktivitas, otot-ototnya tidak terlatih dan menjadi kendor. Otot yang kendor
akan mempercepat menurunnya kekuatan tulang. Akibatnya massa tulang puncak
tidak tercapai pada usia 25 tahun sebagaimana seharusnya sehingga orang yang
bersangkutan akan cepat mengalami pengeroposan tulang yang menjurus menjadi
osteoporosis (Isbagio, 2009).
b.
Pola makan
Menu makanan sehari-hari harus mengandung unsur gizi
yang dibutuhkan tubuh untuk membangun
dan memperkuat tulang, yaitu mengandung protein, kalsium, fosfor, cukup vitamin
D dan sinar matahari. Sinar matahari penting untuk pembentukan vitamin D, yang
diperlukan untuk pembentukan tulang baru. Di negara yang kurang sinar matahari
diperlukan suplemen vitamin D yang cukup (Isbagio, 2009).
c.
Merokok
Para perokok beresiko terkena osteoporosis lebih besar
dibanding bukan perokok. Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai kadar
estrogen lebih rendah dan mengalami masa menopause 5 tahun lebih cepat
dibandingkan wanita bukan perokok. Dengan demikian, wanita perokok lebih cepat
pula kehilangan massa tulangnya. Secara umum, merokok menghambat kerja
osteoblas sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kerja osteoklas dan
osteoblas. Osteoklas lebih dominan. Akibatnya, pengeroposan tulang/osteoporosis
terjadi lebih cepat (Waluyo, 2009).
d.
Minuman keras/beralkohol
Ini berlaku bagi para pecandu minuman keras (alcoholic) atau mereka yang minum lebih
dari dua gelas per hari. Minum-minuman keras berlebihan akan mengganggu
kesehatan tubuh secara keseluruhan, khususnya proses metabolisme kalsium.
Alcohol berlebih dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding lambung. Dan
ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan kalsium (yang ada
dalam darah) yang dapat menurunkan massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan
osteoporosis (Isbagio, 2009).
e.
Stres
Kondisi stress akan meningkatkan produksi hormon stres
yaitu kortiosol yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol
yang tinggi akan meningkatkan pelepasan kalsium ke dalam peredaran darah.
Pelepasan kalsium dalam kadar tinggi akan menyebabkan tulang menjadi rapuh dan
keropos sehingga meningkatkan resiko osteoporosis. Di sisi lain, meningkatnya
hormon kortisol berpengaruh menekan hormon DHEA dan progesterone, juga menekan
kerja hormon tiroid. Padahal hormon-hormon tersebut penting dalam proses
metabolisme tulang. Karena itu dapat dimengerti jika metabolisme tulang menurun
dan terjadi gangguan dalam pembentukan tulang yang bisa berakibat tulang rapuh
dan mudah keropos (Tandra, 2009).
f.
Bahan kimia
Polusi bahan kimia diketahui berdampak negatif bagi
kesehatan tubuh termasuk tulang. Bahan kimia seperti peptisida yang dapat ditemukan
dalam bahan makanan (sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan
bermotor, dam limbah industri seperti organoklorida yang dibuang sembarangan di
sungai dan tanah. Ini membuat daya tahan tubuh menurun dan membuat pengeroposan
tulang.
2. Jenis-jenis osteoporosis
Osteoporosis dibagi menjadi 2
kelompok yaitu, osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder.
Osteoporosis primer tidak diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder
diketahui penyebabnya. Pada tahun 1940-an Albright mengemukakan pentingnya
estrogen pada pathogenesis osteoporosis. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan
Melton, membagi osteoporosis primer atas osteoporosis tipe I dan tipe II.
Osteoporosis tipe I, disebut juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh
defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II, disebut juga
osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus
sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya
osteoporosis. Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen
juga menonjol pada osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian kalsium dan
vitamin D pada osteoporosis tipe II juga tidak memberikan hasil yang adekuat.
Akhirnya pada tahun 1990-an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan
mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat berperan pada timbulnya
osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis (Sudoyono dkk., 2006).
3. Patofisiologi osteoporosis
Tulang adalah suatu jaringan hidup,
karena itu selalu terjadi regenerasi sel-sel tulang secara terus menerus agar
tulang tetap menjadi kuat. Jadi tulang selalu mengalami pembongkaran dan
penggantian sel-sel lama dengan sel-sel baru. Jika proses bongkar pasang
sel-sel lama dan sel-sel baru tersebut seimbang, maka tulang akan tetap kuat.
Namun saat laju penghancuran tulang lebih besar ketimbang laju pembentukan
tulang, maka terjadilah keropos tulang (Waluyo, 2009).
Menyangkut proses bongkar pasang
tersebut, dikenal dua tipe sel tulang, yaitu osteoklas (sel penghancur struktur
tulang) dan osteoblas (sel pembangun/pembentuk tulang). Kedua sel ini dibuat
oleh sumsum tulang. Dalam keadaan normal, osteoklas dan osteoblas bekerja
bergantian, saling mengisi dan seimbang, sehingga tulang tetap utuh dan kuat.
Dengan bertambahnya usia, osteoklas akan menjadi lebih aktif sedangkan
osteoblas menurun, sehingga tulang lebih banyak dirusak ketimbang dibentuk
kembali, dan terjadi pengurangan massa tulang (Tandra, 2009).
Selain itu, makin tua seseorang,
penyerapan nutrisi juga makin tidak optimal sehingga asupan protein dan mineral
tidak mampu mempertahankan kepadatan tulang. Akibatnya, tulang kekurangan
asupan nutrisi untuk pembentukannya ditambah dengan makin melemahnya osteoblas,
maka tulang makin lama makin rapuh bersamaan dengan bertambahnya usia. Munculah
penyakit keropos tulang atau osteoporosis (Waluyo, 2009).
Defisiensi
estrogen pada wanita menopause telah lama diketahui memegang peranan penting
pada pertumbuhan tulang dan proses penuaan. Penurunan kadar estrogen akan
memacu aktifitas remodeling tulang yang makin tidak seimbang karena osteoblast
tidak dapat mengimbangi kerja osteoklast, sehingga massa tulang akan menurun
dan tulang menjadi osteoporotik. Aktifitas osteoklast yang meningkat akan
menyebabkan terbentuknya lacuna Howersip yang dalam dan terputusnya trabekula,
sehingga kekuatan tulang akan menjadi turun dan tulang mudah fraktur (Sudoyono,
dkk., 2006). Selain itu menurut Mangoenprasodjo (2004), estrogen pada wanita
berperan penting dalam penyerapan kalsium yang diperlukan dalam pembentukan
tulang dan mempertahankan massa tulang. Sehingga kekurangan hormon estrogen
pada menopause menyebabkan tulang menjadi tipis dan mudah patah.
4. Tanda-tanda osteoporosis
Osteoporosis
merupakan “silent disease”,
perjalanan penyakitnya sangat lambat, tidak segera menimbulkan keluhan.
Penderitaan mulai timbul saat terjadi komplikasi, khususnya fraktur pada tulang
belakang, panggul, dan pergelangan tangan. Fraktur dapat dipicu oleh peristiwa
apa saja, atau bahkan bisa terjadi secara spontan. Kejadian fraktur pada wanita
usia pascamenopause cukup tinggi dan risiko fraktur semakin bertambah pada usia
di atas 60 tahun. Fraktur osteoporosis menimbulkan banyak kesulitan bagi
penderitanya (Surjo, 2009 ).
Pada
awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai puluhan tahun
tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi
kolaps atau hancur akan timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang.
Menurut
Tandra (2009), seseorang dengan osteoporosis biasanya akan memberikan keluhan
atau gejala sebagai berikut :
a. Tinggi
tulang berkurang
Penyebab
penurunan tinggi badan (height loss) ini
adalah fraktur tulang belakang (vertebra) yang umumnya tanpa keluhan, tetapi
tubuh semakin pendek dan bungkuk. Bila terdapat penurunan tinggi badan sebanyak
dua senti dalam tiga tahun terakhir, itu menandakan adanya fraktur tulang
belakang yang baru (Tandra, 2009).
b. Bungkuk
atau bentuk tubuh berubah
Tubuh
yang membungkuk (kiposis) atau dorsal
kyphosis atau dowager’s hump, biasanya terjadi akibat kerusakan
beberapa ruas tulang belakang dari daerah dada (thoracal) dan pinggang (lumbal).
Osteoporosis pada tulang belakang ini menimbulkan fraktur kompresi atau kolaps
tulang dan menyebabkan badan membungkuk ke depan. Kiposis yang berat bisa
mengakibatkan gangguan pergerakan otot pernapasan. Seseorang bisa merasakan
sesak napas, kadang bahkan timbul komplikasi pada paru-paru (Tandra, 2009).
c. Tulang
rapuh dan patah
Tulang
yang rapuh atau patah dinamakan fragility
fracture. Pada kondisi ini bisa terjadi patah tulang meskipun tidak harus
timbul karena trauma yang hebat, melainkan cukup hanya dengan terjatuh biasa
yang ringan, mengangkat, mendorong sesuatu, atau akibat trauma ringan, seperti misalnya
ketika duduk, berdiri, batuk, bahkan sewaktu memeluk seseorang, sudah bisa
menyebabkan tulang menjadi patah. Selain pada tulang belakang, fraktur sering
pula menimpa tulang pergelangan tangan, pergelangan kaki, atau panggul. Fraktur
multiple di beberapa tempat juga bisa terjadi. Fraktur yang terjadinya mendadak
atau akut akan menimbulkan rasa nyeri yang hebat, yang kadang memerlukan obat
penekan rasa nyeri yang kuat sampai pada golongan narkotika (Tandra, 2009).
5. Bahaya osteoporosis
Osteoporosis
menjadi salah satu penyebab penderitaan dan cacat, terutama pada lansia, berupa
patah tulang, cacat tubuh, dan komplikasi yang bisa menyebabkan kematian.
Menurut Tandra (2009), osteoporosis dapat berlangsung selama bertahun-tahun
tanpa gejala apapun sampai suatu ketika terjadi patah tulang dan/ atau rasa
nyeri berkelanjutan. Jika terjadi hal semacam itu, berarti keadaan sudah
terlambat. Osteoporosis sudah lanjut, apalagi jika terjadi patah tulang belakang
yang membuat penderita tidak dapat beraktivitas karena terpaksa harus terus
berbaring (imobilisasi). Keadaan semacam ini bisa menimbulkan komplikasi
infeksi saluran nafas dan saluran kemih. Selain rasa nyeri, penderita juga
mengalami stress bahkan depresi. Ditambah biaya perawatan yang sangat tinggi
yang juga harus dipikirkan/ disadari secara serius.
6. Osteoporosis Pada Wanita
Menopause
Defisiensi
estrogen pada wanita menopause telah lama diketahui memegang peranan penting
pada pertumbuhan tulang dan proses penuaan. Penurunan kadar estrogen akan
memacu aktifitas remodeling tulang yang makin tidak seimbang karena osteoblast
tidak dapat mengimbangi kerja osteoklast, sehingga massa tulang akan menurun
dan tulang menjadi osteoporotik. Aktifitas osteoklast yang meningkat akan
menyebabkan terbentuknya lacuna Howersip yang dalam dan terputusnya trabekula,
sehingga kekuatan tulang akan menjadi turun dan tulang mudah fraktur (Sudoyono,
dkk., 2006). Selain itu menurut Mangoenprasodjo (2004), estrogen pada wanita
berperan penting dalam penyerapan kalsium yang diperlukan dalam pembentukan
tulang dan mempertahankan massa tulang. Sehingga kekurangan hormon estrogen
pada menopause menyebabkan tulang menjadi tipis dan mudah patah.
7. Dampak Osteoporosis Pada
Wanita Menopause
Dampak
osteoporosis yang dapat terjadi pada wanita menopause adalah terjadinya perubahan fisik, yaitu tubuh
menjadi semakin pendek, bungkuk dan terjadi fraktur pada tulang belakang,
tulang pergelangan tangan, pergelangan kaki, atau panggul (Tandra, 2009).
Dampak
osteoporosis lainnya adalah gangguan imobilitas dan aktifitas serta gangguan
citra tubuh yang berkaitan dengan adanya perubahan fisik yang terjadi pada
penderita osteoporosis.
8. Pencegahan dan Penanganan
Osteoporosis
Menurut
Setiyohadi dalam artikel “pencegahan osteoporosis” pencegahan osteoporosis
sebaiknya dilakukan sejak masih dalam kandungan. Sang ibu harus mengkonsumsi
kalsium dengan cukup sehingga tulang bayi dalam kandungan tumbuh optimal dan
tidak mengambil cadangan kalsium dari tulang ibu (Admin, 2006).
Sofyanuddin
dalam Hilmansyah (2007), menyebutkan
untuk menghindari osteoporosis seseorang mesti mencapai puncak kepadatan tulang
(peak bone mess) yang bisa dicapai
pada usia 25-30 tahun. Makin tinggi puncak kepadatan tulang yang dapat dicapai,
maka makin besar perlindungan diri seseorang terhadap kemungkinan osteoporosis.
Ada
beberapa hal yang dapat membantu tercapainya puncak kepadatan tulang yang
tinggi, yaitu olah raga teratur, diet seimbang dan kaya kalsium serta
menghindari rokok, alkohol, dan kafein. Olah raga penting untuk kesehatan
tulang. Latihan yang terbaik untuk tulang adalah menumpu berat badan (weight bearing exercise), seperti
jalan, jogging, dansa dan naik tangga. Yang harus diingat, aktivitas high
impact seperti lari dan loncat tidak cocok untuk orang tua. Bagi lansia
sebaiknya jalan kaki selama 30-40 menit sebanyak tiga kali seminggu. Kurangnya
aktivitas yang lama akan menyebabkan hilangnya tulang (bone loss). Hal ini disebabkan kurangnya tarikan otot dan gaya
tarik bumi terhadap tulang,
Menurut
Irwan (2008), mengkonsumsi makanan yang mengandung nutrisi untuk tulang baik dilakukan untuk pencegahan
dini osteoporosis. Sayuran hijau, sayur-sayuran berdaun lebar, tahu, ikan
sarden, dan salmon juga merupakan sumber makanan yang mengandung kalsium. Perlu
pula mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak antioksidan seperti vitamin A
yang terdapat dalam wortel, kentang, pepaya, labu, bunga kol, kangkung,
semangka. Vitamin C yang terdapat dalam jeruk, pepaya, kecambah, kangkung,
strawberry, atau vitamin E yang terdapat dalam minyak nabati, tauge, mineral
selenium yang terdapat dalam bawang putih, kubis, wortel, lobak, bunga kol,
salada, mentimun, ikan, mineral seng yang terdapat dalam hati dan daging hewani,
kacang-kacangan dan lain-lain.
Nutrisi
yang paling penting untuk pembentukan tulang adalah kalsium. Kalsium merupakan
mineral yang paling banyak terdapat didalam tubuh manusia. Kira-kira 99%
kalsium terdapat di jaringan keras yaitu tulang dan gigi. Ada 1 % kalsium
terdapat dalam darah dan jaringan lunak. Untuk memenuhi kebutuhan yang 1 persen
ini, tubuh mengambilnya dari makanan yang dimakan atau dari tulang, karena
kebanyakan mineral dan vitamin memang tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh.
Bila makanan yang masuk tidak dapat memenuhi kebutuhan, tubuh akan mengambilnya
dari tulang. Sehingga tulang dapat dikatakan sebagai gudang cadangan kalsium
tubuh. Jika terjadi dalam waktu yang lama, akan menimbulkan pengeroposan tulang
(Tandra, 2009).
WHO
menganjurkan bagi orang-orang dewasa rata-rata memerlukan kalsium di atas 500
mg per hari. Dengan bertambahnya usia, kalsium yang dibutuhkan akan semakin
banyak. Sampai usia 50 tahun ke atas, atau wanita yang mencapai masa menopause,
diperlukan elemen kalsium 1200 sampai 1500 mg dalam makanan sehari-hari (Waluyo,
2009).
Penelitian
terhadap 36.262 wanita menopause oleh Women’s
Health Institute di Amerika Serikat ditemukan bahwa 1000 mg kalsium
ditambah 400 iu vitamin D setiap hari terbukti efektif mengurangi kejadian
fraktur tulang panggul (Tandra, 2009).
Selain
kalsium, mineral yang juga penting untuk kesehatan tulang adalah fosfor (phosphor), kalium (potassium), dan nutrium (sodium).
a. Fosfor
Lebih
dari setengah fosfor tubuh ditemukan dalam tulang. Dalam jumlah sampai 700 mg per hari, fosfor baik untuk
pertumbuhan tulang. Namun, bila fosfor berlebihan sampai lebih dari 3000 mg,
akan menarik kalsium keluar dari tulang sehingga terjadi osteoporosis. Minuman
softdrink dan mengkonsumsi banyak makanan jadi, yang ternyata mengandung banyak
fosfor juga harus dihindari (Tandra, 2009).
b. Kalium
Bila
tubuh kekurangan kalium, kompensasi tubuh adalah melepaskan kalsium dari
tulang, sehingga terjadi pengeroposan tulang. Sumber kalium banyak terdapat
pada buah, sayur, unggas, ikan, susu, yogurt (Tandra, 2009).
c. Natrium
Garam
atau natrium klorida bukan saja menaikkan tekanan darah (sehingga tidak baik
bagi pasien jantung atau ginjal karena akan menimbulkan bengkak), tetapi bisa
membuat orang menjadi gemuk dan tidak baik untuk tulang. Tambahan satu gram
garam setiap hari akan meningkatkan pengeroposan tulang sebanyak 1 persen dalam
1 tahun, kecuali rajin mengkonsumsi kalsium untuk perbaikan tulang. Sebaliknya
orang yang mengurangi konsumsi natrium 1-2 gram per hari, kebutuhan akan
kalsium menjadi berkurang (Tandra, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar