Senin, 07 Oktober 2013

Kebidanan terbaru 2013: Kecerdasan Emosional

Kebidanan terbaru 2013: Kecerdasan Emosional: Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak...

Keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa SMU

Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.
Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang terbaik seperti mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional.  Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial : yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu  pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002:273).
Penelitian Walter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu menunda dorongan hatinya (dalam Goleman, 2002 : 81).
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik (Gottman, 2001:xvii).
Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk  kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih cerdas, penuh pengertian, mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses disekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak aman (Gottman, 2001 : 250).

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik di sekolah..

Faktor Kecerdasan Emosional

Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
a.   Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b.   Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam  menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c.   Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d.   Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
      Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. 
e.   Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional

Kecerdasan Emosional

Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
 Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta).  Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :
a. Amarah                    : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan               : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi   diri,  putus asa
c. Rasa takut               : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan            : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta                        : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut                   : terkesiap, terkejut
g. Jengkel                    : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu                                    : malu hati, kesal
 Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
            Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

2. Pengertian kecerdasan emosional

Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai :
“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
            Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan  dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
            Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut  sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).
            Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
            Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

            Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Prestasi Belajar

Prestasi belajar tidak dapat dipisahkan dari berbuatan belajar, karena belajar merupakan suatu proses, sedangkan prestasi belajar adalah hasil dari proses pembelajaran tersebut.
            Bagi seorang siswa belajar merupakan suatu kewajiban. Berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam pendidikan tergantung pada proses belajar yang dialami oleh siswa tersebut.
            Menurtut Logan, dkk (1976) dalam Sia Tjundjing (2001:70) belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan latihan . Senada dengan hal tersebut, Winkel (1997:193) berpendapat bahwa belajar pada manusia dapat dirumuskan sebagai suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.
Belajar tidak hanya dapat dilakukan di sekolah saja, namun dapat dilakukan dimana-mana, seperti di rumah ataupun dilingkungan masyarakat. Irwanto (1997:105) berpendapat bahwa belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi sudah mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan menurut Mudzakir (1997:34) belajar adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan di dalam diri seseorang, mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.
Di dalam belajar, siswa mengalami sendiri proses dari tidak tahu menjadi tahu, karena itu menurut Cronbach (Sumadi Suryabrata,1998:231) :
“Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami dan dalam mengalami itu   pelajar mempergunakan pancainderanya. Pancaindera tidak terbatas hanya indera pengelihatan saja, tetapi juga berlaku bagi indera yang lain.”

Belajar dapat dikatakan berhasil jika terjadi perubahan dalam diri siswa, namun tidak semua perubahan perilaku dapat dikatakan belajar karena perubahan tingkah laku akibat belajar memiliki ciri-ciri perwujudan yang khas (Muhibbidin Syah, 2000:116) antara lain :

a. Perubahan Intensional
Perubahan dalam proses berlajar adalah karena pengalaman atau praktek yang dilakukan secara sengaja dan disadari. Pada ciri ini siswa menyadari bahwa ada perubahan dalam dirinya, seperti penambahan pengetahuan, kebiasaan dan keterampilan.
b. Perubahan Positif dan aktif
Positif berarti perubahan tersebut baik dan bermanfaat bagi kehidupan serta sesuai dengan harapan karena memperoleh sesuatu yang baru, yang lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan aktif artinya perubahan tersebut terjadi karena adanya usaha dari siswa yang bersangkutan.
c. Perubahan efektif dan fungsional
Perubahan dikatakan efektif apabila membawa pengaruh dan manfaat tertentu bagi siswa. Sedangkan perubahan yang fungsional artinya perubahan dalam diri siswa tersebut relatif menetap dan apabila dibutuhkan perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan lagi.
Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, secara sengaja, disadari dan perubahan tersebut relatif menetap serta membawa pengaruh dan manfaat yang positif bagi siswa dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

2. Pengertian prestasi belajar

            Untuk mendapatkan suatu prestasi tidaklah semudah yang dibayangkan, karena memerlukan perjuangan dan pengorbanan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi.
            Penilaian terhadap hasil belajar siswa untuk mengetahui sejauhmana ia telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Seperti yang dikatakan oleh Winkel (1997:168) bahwa proses belajar yang dialami oleh siswa menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan dan pemahaman, dalam bidang nilai, sikap dan keterampilan. Adanya perubahan tersebut tampak dalam prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa terhadap pertanyaan, persoalan atau tugas yang diberikan oleh guru. Melalui prestasi belajar siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.
            Sedangkan Marsun dan Martaniah dalam Sia Tjundjing (2000:71) berpendapat bahwa prestasi belajar merupakan hasil kegiatan belajar, yaitu sejauh mana peserta didik menguasai bahan pelajaran yang diajarkan, yang diikuti oleh munculnya perasaan puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik. Hal ini berarti prestasi belajar hanya bisa diketahui jika telah dilakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa.
            Menurut Poerwodarminto (Mila Ratnawati, 1996 : 206) yang dimaksud dengan prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan prestasi belajar itu sendiri diartikan sebagai prestasi yang dicapai oleh seorang siswa pada jangka waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor sekolah.
            Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar merupakan  hasil usaha belajar yang dicapai seorang siswa berupa suatu kecakapan dari kegiatan belajar bidang akademik di sekolah pada jangka waktu tertentu yang dicatat pada setiap akhir semester di dalam buki laporan yang disebut rapor.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar.

            Untuk meraih prestasi belajar yang baik, banyak sekali faktor yang perlu diperhatikan, karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit siswa yang mengalami kegagalan. Kadang ada siswa yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi, tapi dalam kenyataannya prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya.
            Untuk meraih prestasi belajar yang baik banyak sekali faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Menurut Sumadi Suryabrata (1998 : 233) dan Shertzer dan Stone   (Winkle, 1997 : 591),  secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dan prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.:


a.       Faktor internal
Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat mempengaruhi prestasi belajar. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1).  Faktor fisiologis
Dalam hal ini, faktor fisiologis yang dimaksud adalah faktor yang berhubungan dengan kesehatan dan pancaindera
a)       Kesehatan badan
Untuk dapat menempuh studi yang baik siswa perlu memperhatikan dan memelihara kesehatan tubuhnya. Keadaan fisik yang lemah dapat menjadi penghalang bagi siswa dalam menyelesaikan program studinya. Dalam upaya memelihara kesehatan fisiknya, siswa perlu memperhatikan pola makan dan pola tidur, untuk memperlancar metabolisme dalam tubuhnya. Selain itu, juga untuk memelihara kesehatan bahkan juga dapat meningkatkan ketangkasan fisik dibutuhkan olahraga yang teratur.
b)      Pancaindera
  Berfungsinya pancaindera merupakan syarat dapatnya belajar itu berlangsung  dengan baik. Dalam sistem pendidikan dewasa ini di antara pancaindera itu yang paling memegang peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Hal ini penting, karena sebagian besar hal-hal yang dipelajari oleh manusia  dipelajari melalui penglihatan dan pendengaran. Dengan demikian, seorang anak yang memiliki cacat fisik atau bahkan cacat mental akan menghambat dirinya didalam menangkap pelajaran, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah.
2) Faktor psikologis
Ada banyak faktor psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa, antara lain adalah :
a)      Intelligensi
Pada umumnya, prestasi belajar yang ditampilkan siswa mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Menurut Binet (Winkle,1997 :529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan suatu penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.  Taraf inteligensi ini sangat mempengaruhi prestasi belajar seorang siswa, di mana siswa yang memiliki taraf inteligensi tinggi mempunyai peluang lebih besar untuk mencapai prestasi belajar yang lebih tinggi. Sebaliknya, siswa yang memiliki taraf inteligensi yang rendah diperkirakan juga akan memiliki prestasi belajar yang rendah. Namun bukanlah suatu yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah memiliki prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya .    
b)      Sikap
Sikap yang pasif, rendah diri dan kurang percaya diri dapat merupakan faktor yang menghambat siswa dalam menampilkan prestasi belajarnya. Menurut Sarlito Wirawan (1997:233) sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Sikap siswa yang positif terhadap mata pelajaran di sekolah merupakan langkah awal yang baik dalam proses belajar mengajar di sekolah.
c)      Motivasi
Menurut Irwanto (1997 : 193) motivasi adalah penggerak perilaku. Motivasi belajar adalah pendorong seseorang untuk belajar. Motivasi timbul karena adanya keinginan atau kebutuhan-kebutuhan dalam diri seseorang. Seseorang berhasil dalam belajar karena ia ingin belajar. Sedangkan menurut Winkle (1991 : 39) motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar itu; maka tujuan yang dikehendaki oleh siswa tercapai. Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas ialah dalam hal gairah atau semangat belajar, siswa yang termotivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.
b.      Faktor eksternal
Selain faktor-faktor yang ada dalam diri siswa, ada hal-hal lain diluar diri yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang akan diraih, antara lain adalah :
1). Faktor lingkungan keluarga
a)  Sosial ekonomi keluarga
Dengan sosial ekonomi yang memadai, seseorang lebih berkesempatan mendapatkan fasilitas belajar yang lebih baik, mulai dari buku, alat tulis hingga pemilihan sekolah
b). Pendidikan orang tua
Orang tua yang telah menempuh jenjang pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan dan memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, dibandingkan dengan yang mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah.
c). Perhatian orang tua dan suasana hubungan antara anggota keluarga
Dukungan dari keluarga merupakan suatu pemacu semangat berpretasi bagi seseorang. Dukungan dalam hal ini bisa secara langsung, berupa pujian atau nasihat; maupun secara tidak langsung, seperti hubugan keluarga yang harmonis.
2).  Faktor lingkungan sekolah
a). Sarana dan prasarana
Kelengkapan fasilitas sekolah, seperti papan tulis, OHP akan membantu   kelancaran proses belajar mengajar di sekolah; selain bentuk ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar sekolah juga dapat mempengaruhi proses belajar mengajar
                  b). Kompetensi guru dan siswa
Kualitas guru dan siswa sangat penting dalam meraih prestasi, kelengkapan sarana dan prasarana tanpa disertai kinerja yang baik dari para penggunanya akan sia-sia belaka. Bila seorang siswa merasa kebutuhannya untuk berprestasi dengan baik di sekolah terpenuhi, misalnya dengan tersedianya fasilitas dan tenaga pendidik yang berkualitas , yang dapat memenihi rasa ingintahuannya, hubungan dengan guru dan teman-temannya berlangsung harmonis, maka siswa akan memperoleh iklim belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, ia akan terdorong untuk terus-menerus meningkatkan prestasi belajarnya.


    c). Kurikulum dan metode mengajar
Hal ini meliputi materi dan bagaimana cara memberikan materi tersebut kepada siswa. Metrode pembelajaran yang lebih interaktif sangat diperlukan untuk menumbuhkan minat dan peran serta siswa dalam kegiatan pembelajaran. Sarlito Wirawan (1994:122) mengatakan bahwa faktor yang paling penting adalah faktor guru. Jika guru mengajar dengan arif bijaksana, tegas, memiliki disiplin tinggi, luwes dan mampu membuat siswa menjadi senang akan pelajaran, maka prestasi belajar siswa akan cenderung tinggi, palingtidak siswa tersebut tidak bosan dalam mengikuti pelajaran.
3).  Faktor lingkungan masyarakat
a). Sosial budaya
Pandangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan akan mempengaruhi kesungguhan pendidik dan peserta didik. Masyarakat yang masih memandang rendah pendidikan akan enggan mengirimkan anaknya ke sekolah dan cenderung memandang rendah pekerjaan guru/pengajar
b). Partisipasi terhadap pendidikan
Bila semua pihak telah berpartisipasi dan mendukung kegiatan pendidikan, mulai dari pemerintah (berupa kebijakan dan anggaran) sampai pada masyarakat bawah, setiap orang akan lebih menghargai dan berusaha memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

4. Pengukuran prestasi belajar

            Dalam dunia pendidikan, menilai merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat ditinggalkan. Menilai merupakan salah satu proses belajar dan mengajar. Di Indonesia, kegiatan menilai prestasi belajar bidang akademik di sekolah-sekolah dicatat dalam sebuah buku laporan yang disebut rapor. Dalam rapor dapat diketahui sejauhmana prestasi belajar seorang siswa, apakah siswa tersebut berhasil atau gagal dalam suatu mata pelajaran. Didukung oleh pendapat Sumadi Suryabrata (1998 : 296) bahwa rapor merupakan perumusan terakhir yang diberikan oleh guru mengenai kemajuan atau hasil belajar murid-muridnya selama masa tertentu.
            Syaifuddin Azwar (1998 :11) menyebutkan bahwa ada beberapa fungsi penilaian dalam pendidikan, yaitu :
a.  Penilaian berfungsi selektif (fungsi sumatif)
Fungsi penilaian ini merupakan pengukuran akhir dalam suatu program dan hasilnya dipakai untuk menentukan apakah siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak dalam program pendidikan tersebut. Dengan kata lain penilaian berfungsi untuk membantu guru mengadakan seleksi terhadap beberapa siswa, misalnya :

1). Memilih siswa yang akan diterima di sekolah
2) Memilih siswa untuk dapat naik kelas
3). Memilih siswa yang seharusnya dapat beasiswa
b. Penilaian berfungsi diagnostik
Fungsi penilaian ini selain untuk mengetahui hasil yang dicapai siswa juga mengetahui kelemahan siswa sehingga dengan adanya penilaian, maka guru dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan masing-masing siswa. Jika guru dapat mendeteksi kelemahan siswa, maka kelemahan tersebut dapat segera diperbaiki.
c. Penilaian berfungsi sebagai penempatan (placement)
Setiap siswa memiliki kemampuan berbeda satu sama lain. Penilaian dilakukan untuk mengetahui di mana seharusnya siswa tersebut ditempatkan sesuai dengan kemampuannya yang telah diperlihatkannya pada prestasi belajar yang telah dicapainya. Sebagai contoh penggunaan nilai rapor SMU kelas II menentukan jurusan studi di kelas III.
d. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan (fungsi formatif)
Penilaian berfungsi untuk mengetahui sejauh mana suatu program dapat diterapkan. Sebagai contoh adalah raport di setiap semester di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menegah dapat dipakai untuk mengetahui apakah program pendidikan yang telah diterapkan berhasil diterapkan atau tidak pada siswa  tersebut.
            Raport biasanya menggambil nilai dari angka 1 sampai dengan 10, terutama pada siswa SD sampai SMU, tetaapi dalam kenyataan nilai terendah dalam rapor yaitu 4 dan nilai tertinggi 9. Nilai-nilai di bawah 5 berarti tidak baik atau buruk, sedangkan nilai-nilai di atas 5 berarti cukup baik, baik dan sangat baik.

            Dalam penelitian ini pengukuran prestasi belajar menggunakan penilaian sebagai pengukur keberhasilan (fungsi formatif), yaitu nilai-nilai raport pada akhir masa semester I.

Sabtu, 05 Oktober 2013

pERAN kELUARGA

Peran menunjukan kepada beberapa set perilaku yang kurang lebih bersifat homogen, yang didefinisikan dan diharapkan secara normatif dari seorang okupan dalam situasi sosial tertentu. Peran didasarkan preskripsi dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut (Nye, 1976).
Peran adalah suatu pola tingkah laku, kepercayaan nilai, sikap yang diharapkan oleh masyarakat muncul dan menandai sifat dan tindakan pemegang kedudukan (Sarwono, 1997)
Peran adalah pola, sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat (Beck dkk,1984; Keliat, 1992)      
Peran adalah perilaku yang berkenaan dengan siapa yang memegang suatu posisi tertentu, posisi mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam suatu sistem sosial.                       
1)      Keluarga
Menurut Burgess dkk, 1976 membuat definisi yang berorientasi pada tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas:
a.       Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi
b.      Para anggota keluaga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka
c.       Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama yang lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara dan saudari
d.      Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri
Menurut whall (!986) dalam analisa konsep tentang keluarga sebagai unit yang perlu dirawat dalam perawatan, keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengidentifikasikan diri dengan anggotanya terdiri dari dua individu atau lebih, yang asosiasinya dicirikan oleh istilah-istilah khusus, yang boleh jadi tidak diikat oleh hubungan darah atau hukum, tapi berfungsi berbagai macam sehingga mereka menganggap diri mereka sebagai anggota keluarga.
Family Service America (1984) mendefinisikan keluarga dengan cara komprehensif yaitu sebagai dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan keintiman.
Menurut friedman (1998) keluarga didefinisikan dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional dan yang mengidentifikasikan diri mereka  sebagai bagian dari keluarga.      
2)      Peran keluarga
Peran keluarga adalah seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu (Effendy,1998).
Menurut Goldenberg dan Goldenberg (1980) dalam Shives (1998) dikatakan peran keluarga dalam perawatan kesehatan meliputi: kemampuan mengkomunikasikan gagasan dan perasaan menyusun dalam menentukan pembagian tugas keluarga, saling berinteraksi, melindungi antara sesama anggota keluarga, saling berpartisipasi untuk menolong anggota keluarga yang sakit.                                                 
1.      Macam-macam peran  
1)      Peran formal
Berkaitan dengan setiap posisi formal keluarga adalah peran-peran terkait, yaitu sejumlah perilaku yang bersifat homogen. Keluarga membagi peran secara merata kepada para anggota keluarga seperti cara masyarakat membagi peran-perannya menurut bagaimana pentingnya pelaksanaan peran bagi berfungsinya suatu system.
Nye dan Gecas (1976) telah mengidentifikasikan enam peran dasar yang membentuk posisi sosial Sebagai Suami-Ayah dan istri-ibu:
a.       Peran sebagai provider (penyedia)
b.      Peran sebagai pengatur rumah tangga
c.       Peran perawatan anak
d.      Peran sosialisasi anak
e.       Peran rekreasi
f.       Peran persaudaraan (kinship) yaitu memelihara hubungan keluarga paternal dan maternal
g.      Peran terapeutik yaitu memenuhi kebutuhan afektif dari pasangan
h.      Peran seksual
2)      Peran informal
Peran-peran informal bersifat implisit biasanya tidak tampak pada ke permukaan dan dimainkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional individual (Satir, 1967) dan/atau untuk menjaga keseimbangan keluarga. Beberapa contoh peran-peran yang digambarkan literatur (Benne dan Sheats,1948; Hartman dan Laird; 1983; Kantor dan Lehr, 1975; Satir, 1972; Vogel dan Bell, !960)
a.       Pendorong
Pendorong memuji, setuju dengan, dan menerima kontribusi dari orang lain dan membuat mereka merasa bahwa pemikiran mereka penting dan bernilai untuk didengar.    
b.      Pengharmonis
Pengharmonis menengahi perbedaan yang terdapat di antara para anggota menghibur menyatukan kembali perbedaan pendapat
c.       Inisiator-kontributor
Inisiator-kontributor mengemukakan dan mengajukan ide-ide baru atau cara-cara mengingat masalah-masalah atau tujuan-tujuan kelompok. Kantor dan Lehr menyatakan tipe peran ini sebagai sebuah “penggerak” peran yang dicirikan oleh inisiasi tindakan.     
d.      Pendamai
Pendamai (compromiser) merupakan bagian dari konflik dan ketidaksepakatan. Pendamai menyatakan posisinya dan mengakui kesalahannya, atau menawarkan penyelesaian. 
e.       Penghalang
Penghalang cenderung negatif terhadap semua ide yang ditolak tanpa alasan. Kantor dan Lehr memberikan label kepada peran ini sebagai oposan.    
f.       Dominator
Dominator cenderung memaksakan kekuasaan atau superioritas dengan memanipulasi anggota kelompok tertentu dan membanggakan kekuasaannya  dan bertindak seakan-akan ia mengetahui segala-galanya dan tampil sempurna. 



g.      Penyalah
Peran ini seperti penghalang dan dominator. Penyalah adalah seorang yang suka mencari tahu kesalahan, diktator, dan seorang bos yang mengetahui semuanya.    
h.      Pengikut
Seorang pengikut terus mengikuti gerakan dari kelompok, menerima ide-ide dari orang lain kurang lebih secara pasif, tampil sebagai pendengar dalam diskusi kelompok dan keputusan kelompok    
i.        Pencari pengakuan
Pencari pengakuan berupaya mencari cara apa saja yang tepat untuk menarik perhatian kepada dirinya sendiri, perbuatannya, prestasi, dan masalah-masalah lain.     
j.        Martir
Martir tidak menginginkan apa saja untuk dirinya, ia  hanya berkorban untuk anggota keluarga yang lain. 
k.      Keras hati
Orang yang memainkan peran ini menggambarkan secara terus menerus dan aktif tentang semua hal yang “benar”, tidak ada bedanya dengan sebuah komputer. Satir (1975) menamakan peran informal ini super reasonable.
l.        Sahabat
Sahabat seorang teman bermain keluarga yang mengikuti kehendak pribadi dan memaafkan perilaku keluarga tingkah lakunya sendiri tanpa melihat konsekuensinya. Nampak ia tidak selalu relevan.   
m.    Kambing hitam keluarga
Kambing hitam keluarga adalah masalah anggota keluarga yang telah diidentifikasi dalam keluarga sebagai korban atau tempat pelampiasan ketegangan dan rasa bermusuhan, baik secara jelas maupun tidak.    
n.      Penghibur
Penghibur senantiasa mengagumkan dan mencoba menyenangkan, tidak pernah tidak setuju.
o.      Perawat keluarga
Perawat keluarga adalah orang yang terpanggil untuk merawat dan mengasuh anggota keluarga lain yang membutuhkan. 
p.      Pioner keluarga
Pioner keluarga membawa keluarga pindah ke suatu wilayah asing dan dalam pengalaman baru.  
q.      Distraktor dan orang yang tidak relevan.
Ditraktor bersifat tidak relevan, dengan menunjukan perilaku yang menarik perhatian, ia membantu keluarga menghindari atau melupakan persoalan-persoalan yang menyedihkan dan sulit.
r.        Koordinator keluarga
Koordinator keluarga mengorganisasi dan merencanakan kegiatan-kegiatan keluarga, yang berfungsi mengangkat keterikatan/keakraban dan memerangi kepedihan.   
s.       Penghubung keluarga
Perantara keluarga adalah penghubung, ia (biasanya ibu) mengirim dan memonitor komunikasi dalam keluarga   
t.        Saksi   
Peran dari saksi sama dengan pengikut kecuali dalam beberapa hal, saksi lebih pasif. Saksi hanya mengamati tidak melibatkan dirinya.


                        Menurut Leuckenotte (2002) menambahkan peran yang potensial yang berpengaruh pada lansia adalah:
a.       The primemover
b.      The scapegoat
c.       Pembuat keputusan
d.      Perawat kesehatan     
e.       Pendamai
f.       The potstirerrer
g.      Kambing hitam
h.      The burden bearer
i.        The model child
j.        The escape
2.      Faktor-faktor yang mempengaruhi peran.
a.       Faktor Internal
Umur
Umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun (Elisabeth, B.H, 1996; Nursalam, 2001). Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya (Huclok, 1998; Nursalam, 2001).          
b.      Faktor Eskternal
1)      Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang berarti yang diberikan seseorang terhadapa perkembangan orang lain menuju kearah suatu cita-cita tertentu (Sarwono, 1997; Nursalam, 2001). Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan, sehingga dapat menigkatkan kualitas hidup.
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima infornasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Kuncoronigrat,1997; Nursalam, 2001)              
2)      Pekerjaan
Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga (Thomas, 1997;Nursalam, 2001). Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan (Erich, 1996; Nursalam 2001). Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga  (Markum, 1991; Nursalam, 2001).
3)      Status ekonomi
Status ekonomi adalah sebuah komponen social, mengacu pada tingkat pendapatan keluarga dan sumber pendapatan, salah satu fungsi dasar keluarga adalah tersedianya dukungan ekonomi yang memadai dan pengalokasian sumber-sumber. Oleh sebab itu tidak hanya tingkat pendapatan yang diperhitungkan tetapi juga pengeluaran dan pembelanjaan berpusat pada penglokasian sumber.
Geismer dan La sorte (1964) membagi keluarga terdiri dari  4 tingkat ekonomi.:
a)      Adekuat : menyatakan bahwa uang yang dibelanjakan atas dasar suatu pemahaman bahwa pembiayaan-pembiayaan adalah tanggung jawab orang tua.
b)      Marginal : sering terjadi perselisihan antar anggota keluarga siapa yang seharusnya mengontrol pendapatan dan pengeluaran.
c)      Miskin
d)     Sangat miskin    
4)      Budaya
Budaya menggambarkan dan memandu cara yang digunakan oleh masyarakat, kelompok etnis untuk memecahkan masalah mereka dan mengambil arti dari hidup mereka.
Kebudayaan didefinisikan sebagai sistem pola perilaku yang ditransmisikan oleh masyarakat yang menghubungkan kelompok manusia dengan lingkup lingkungan dan juga sebagai sistem-sistem perubahan sosial dan organisasi yang bertindak sebagai penengah adaptasi sosial (Leininger, 1976; Friedman, 1998). Dengan kata lain kebudayaan merupakan sebuah mal (cetakan) yang darinya kita semua menjadi pelaku. Kebudayaan memaksa kita dan mengatur perilaku, sikap dan nilai-nilai kita dalam cara-cara yang tidak kelihatan dan tampak karena manusia mengandalkan perilaku atau budaya yang dipelajari untuk kelangsungan hidupnya. Kebudayaan merupakan sumber utama adaptasi kita.                
5)      Lingkungan
Lingkungan keluarga adalah apa saja yang ada diluar keluarga tertentu, termasuk lingkungan fisik yang paling dekat, dimana keluarga tersebut berada dan linkungan sosial keluarga. ruang lingkup dari suatu keluarga dari suatu keluarga adalah luas dan lingkungan keluarga tidak hanya terdiri dari perawatan medis, realita-realita konkret seperti pangan, sandang dan papan, pekerjaan, keamanan, fisik, pendidikan dan rekreasi, tapi juga memasukan realita-realita sosial dalam keluarga (Holman,1983; Friedman, 1998).              
3.      Peran memberikan perawatan
Observasi klinis dan publikasi riset tahap lanjut belakangan ini membuat para perawat keluarga lebih sadar akan isu-isu serius yang dihadapi pemberi perawatan, karena banyak sekali orang-orang lansia lemah dan sakit kronis yang menerima perawatan dirumah sekarang. Banyak studi yang secara konsisten mendokumentasikan stres dan beban-beban yang dihadapi oleh keluarga, khususnya oleh yang merawat ketika memberikan perawatan kepada anggota keluarga lansia yang sakit kronis dan lemah tersebut. Pemberian perawatan di rumah yang berkesinambungan ini dapat mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang serius bagi pemberi perawatan (Treas, J. dan Bengston, V. 1987).
Orang-orang lanjut usia lebih suka hidup di rumah sendiri, ketika seorang lanjut usia meminta bantuan, maka harapannya adalah pasangannya akan memberikan bantuan tersebut, pasangan yang memberikan perawatan itu sendiri, yang biasanya orangtua itu sendiri, yang berisiko tinggi terhadap masalah kesehatan atau memperburuk kondisi yang ada karena adanya stres akibat memberikan perawatan dan karena usia mereka yang semakin lanjut (Blieszner dan Alley, J.M., 1990).


4.      Perubahan peran selama sakit
Perubahan-perubahan peran karena hilangnya kemampuan atau ketidakmampuan  seorang anggota, maka seringkali muncul konflik-konflik peran dan ketegangan peran, karena anggota keluarga dipaksa untuk menerima peran-peran baru dan memiliki sedikit kesempatan untuk mempelajari peran-peran ini serta mengatur kembali tanggung jawab peran mereka yang lain. Tegangan atau stres akibat peran sering merupakan hasil dari perubahan peran tersebut (Friedman, 1992).                  

Stress

Stres dapat didefinisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasi. Stres adalah keseimbangan antara bagaimana kita memandang tuntutan-tuntutandan bagaimana kita berpikir bahwa kita dapat mengatasi tuntutan yang menentukan apakah kita dapat merasakan stres (Looker, T. & Gregson, 2004). Sedangkan Smeltzer (2001) mendefinisikan stres sebagai suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan yang diterima sebagai suatu hal yang menantang, mengancam atau merusak terhadap keseimbangan atau ekuilibrium dinamis seseorang. Ada ketidakseimbangan nyata atau semu pada kemampuan seseorang dalam memenuhi permintaan situasi yang baru.
Stres sering terjadi jika orang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa tersebut dinamakan stresor, dan reaksi orang terhadap peristiwa tersebut dinamakan respon Stres (Atkitson at all, 1987).
Salah satu sumbangan pertama dalam penelitian tentang stres adalah deskripsi Cannon tentang respon fight-or-flight, pada tahun 1932. Cannon berpendapat bahwa ketika organisme merasakan ada suatu ancaman, maka secara cepat tubuh akan terangsang dan termotivasi melalui sistem syaraf simpatik dan endokrin. Respon fisiologis ini mendorong organisme untuk menyerang ancaman tadi atau melarikan diri (Garmezy, 1983; Taylor, 1991)       
1.      Stresor
Stresor adalah perubahan atau stimulus yang membangkitkan stress seseorang (Smeltzer, 2001). Lain halnya dengan Werner (1993) mendefinisikan stresor sebagai suatu kejadian, kondisi, situasi dan atau kunci internal atau eksternal yang berpotensi untuk membawa atau sebenarnya mengaktifkan reaksi fisik dan psikososial yang bermakna.
Jenis stresor dapat terjadi dengan berbagai bentuk dan kategori. Dapat bersifat fisik, fisiologis dan psikososial. Stresor fisik dapat berupa suhu dingin, panas atau agen kimia. Stresor fisiologis meliputi nyeri dan kelelahan. Sedangkan stresor psikologis dapat terjadi akibat reaksi emosi, seperti takut akan gagal dalam menghadapi ujian atau gagal mendapat pekerjaan. Stresor dapat juga sebagai suatu transisi kehidupan yang normal yang membutuhkan penyesuaian (Smeltzer, 2001).
Sifat stresor sangat berbeda-beda, kejadian atau perubahan yang mengakibatkan stres pada seseorang bisa saja tidak berpengaruh apapun pada orang lain, dan suatu kejadian yang dapat menyebabkan stres pada satu kesempatan dan tempat bisa saja tidak mempengaruhi orang yang sama pada kesempatan dan tempat yang berbeda (Smeltzer, 2001).
Menurut Stuart dan Sundeen (1998), stresor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal. Stresor pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori :
a.       Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
b.      Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang dapat terintegrasi seseorang.
Menurut Hawari (2004), stressor psikososial dapat mempengaruhi terjadinya kecemasan karena tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stressor psikososial, sehingga timbullah keluhan-keluhan salah satunya adalah cemas. Dari sekian banyak jenis stressor psikososial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,para pakar memberikan beberapa contoh antara lain sebagai berikut:
a.       Pekerjaan
Terlalu banyak beban pekerjaan dan sementara waktu tersedia sangat sempit dapat menyebabkan stres. Kehilangan pekerjaan pun juga dapat mempengaruhi timbulnya stres.
b.   Ekonomi (keuangan)
Masalah ekonomi dalam kehidupan sehari-hari ternyata merupakan salah satu stressor utama.
c.       Pendidikan
 Pendidikan yang rendah pada seseorang juga akan mempengaruhi orang tersebut mudah stres.
d.      Hubungan interpersonal (hubungan sosial)
Hubungan antara perorangan yang tidak baik dapat merupakan sumber stres.
e.       Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan hidup yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan seseorang, karena dengan kesehatan yang buruk akan mempengaruhi timbulnya stres.
f.       Perkembangan
Yang dimaksud disini adalah tahapan perkembangan fisik maupun mental seseorang. Dan apabila tahapan perkembangan tersebut tidak dapat dilampaui dengan baik, yang bersangkutan dapat mengalami stres. Dan biasanya perkembangan disaat umur yang masih muda akan lebih mudah mengalami stres daripada umur yang sudah tua tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya.

2.      Tahapan stres
Dr. Robert J. Van Amberg (1979) dalam Hawari (2002) membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut:
a.       Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan yang biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut:
1)      Semangat bekerja besar, berlebihan
2)      Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya
3)      Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan disertai rasa gugup yang berlebihan
4)      Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menepis   
b.      Stres tahap II
Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan” sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat antara lain dengan tidur yang cukup bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang mengalami defisit. Keluhan-keluhan pada stres tahap II adalah:
1)      Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar
2)      Merasa mudah lelah sesudah makan siang
3)      Lekas merasa capai menjelang sore hari
4)      Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman
5)      Detakan jantung lebih keras dari biasanya (Berdebar-debar)
6)      Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang
7)      Tidak bias santai
c.       Stres tahap III
Bila seseorang memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan pada tahap II maka yang bersangkutan akan menunjukan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu:
1)      Gangguan lambung dan usus semakin nyata, misalnya Maag, buang air besar tidak teratur
2)      Tegangan otot-otot semakin terasa
3)      Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat
4)      Gangguan pola tidur atau insomnia
5)      Koordinasi tubuh terganggu seperti badan terasa sempoyongan dan seperti mau pingsan
Pada tahap ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada Dokter untuk memperoleh terapi   
d.      Stres tahap IV
Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III di atas, oleh dokter dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan yang bersangkutan memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV akan muncul:
1)      Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit
2)      Aktifitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit
3)      Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara memadai (adequate)
4)      Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari
5)      Gangguan pola tidur disertai mimpi-mimpiyang menegangkan
6)      Seringkali menolak ajakan (negativism)karena tiada semangat dan kegairahan
7)      Daya konsentrasi dan daya ingat turun
8)      Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya
e.       Stres tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahapV yang ditandai dengan hal-hal berikut
1)      Kelelahan fisik dan mental semakin mendalam
2)      Ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana
3)      Gangguan sistem pencernaan semakin berat
4)      Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan semakin meningkat, mudah bingung dan panik
f.       Stres tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks seseorang mengalami serangan panic dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap VI ini berulang kali dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran Stres tahap VI ini sebagai berikut:
1)      Debaran jantung teramat keras
2)      Susah bernafas
3)      Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran
4)      Ketidakadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan
5)      Pingsan
3.      Respon stres
Atkitson at all (1987) menyebutkan respon atau reaksi terhadap stres dibagi menjadi 2 macam:
1)      Respon psikologis
Situasi stres yang menghasilkan reaksi emosional mulai dari kegembiraan (jika peristiwa menuntut tetapi dapat ditangani) sampai emosi umum kecemasan, kemarahan, kemarahan, kekecewaan dan depresi. Jika situasi stres terus  terjadi, emosi kita mungkin berpindah bolak-balik diantara emosi-emosi tersebut, tergantung pada keberhasilan kita menyelesaikan.              
2)      Respon fisiologis
Tubuh memulai seurutan kompleks respon bawaan terhadap ancaman yang dihadapi. Jika ancaman dapat dipecahkan dengan segera, respon darurat tersebut akan menghilang, dan keadaan fisiologis kita menjadi normal. Jika situasi stres terus terjadi, timbullah respon internal yang lain saat kita berupaya beradaptasi dengan stresor kronis.
4.      Stres pada lansia
Promosi kesehatan jiwa adalah aspek penting dalam perawatan bagi usia lanjut. Ada 4 aspek penting yang menjadi bagian kesehatan jiwa yaitu manajemen stres, harga diri, seksual, pembekalan spiritual bagi usia lanjut, 4 aspek tersebut akan menolong usia lanjut tentang tantangan kejiwaan mereka sehubungan dengan usianya (Atkitson at all, 1987).
Pola penyesuaian masalah dan kemampuan beradaptasi terhadap stres berkembang sepanjang perjalanan hidup dan tetap konsisten dengan awal kehidupan. Pengetahuan mengenai kesuksesan dan kompetensi saat usia dewasa awal dapat membantu seseorang mengembangkan citra diri yang positif yang akan tetanp solid meskipun mengalami gangguan di usia tua. Integritas diri memberikan lansia pertahanan terhadap korosi harga diri. Individu yang fleksibel dan berfungsi baik mungkin akan tetap bertahan sampai lansia. Tetapi kehilangan dapat berakumulasi dalam waktu yang singkat dan membingungkan. Lansia hanya akan mempunyai sedikit pilihan dan sumber daya yang berkurang untuk menghadapi stres. Stresor yang sering terjadi pada lansia meliputi perubahan menua normal yang akan mengganggu fungsi fisik, aktifitas dan penampilan, kecacatan akibat penyakit kronik, kehilangan sosial dan lingkungan penghasilan, peran dan aktifitas serta kematian orang tercinta (Smeltzer, 2001).        
5.      Tanda-tanda stress
Menurut Looker, T. & Gregson (2004) menyebutkan tanda-tanda stres sebagai berikut:
1)      Fisik
a.       Merasakan detak jantung, berdebar-debar
b.      Sesak nafas, gumpalan lendir di tenggorokan, nafas pendek dan cepat
c.       Mulut kering, gangguan pencernaan, nausea
d.      Diare, sembelit, gembung perut (flatulensi)
e.       Ketegangan otot secara keseluruhan khususnya rahang, kertak gigi
f.       Kegelisahan, hiperaktif, menggigit kuku, mengetok jari, menginjak-injakan kaki, meremas-remaskan tangan
g.      Lelah, capek, lesu, sulit tidur, merasa sedih, sakit kepala, sering sakit seperti flu
h.      Berkeringat khususnya ditelapak tangan dan bibir atas, merasa gerah
i.        Tangan dan kaki dingin
j.        Sering ingin kencing
k.      Makan berlebihan, kehilangan selera makan, merokok lebih banyak
l.        Makin banyak, minum alcohol, hilangnya ketertarikan pada seks
2)      Mental
a.       Distres, cemas, kecewa, menangis, rendah diri, merasa putus asa dan tanpa daya, histeris, menarik diri, merasa tidak mampu mengatasi, gelisah, depresi
b.      Tidak sabar, mudah tersinggung dan berlebihan, marah, melawan, agresif
c.       Frustasi, bosan, tidak cukup, merasa salah, tertolak, terabaikan, tidak aman, rentan
d.      Kehilangan ketertarikan pada penampilan sendiri, kesehatan, makanan, seks, harga diri rendah dan kehilangan ketetarikan pada orang lain
e.       Polifasis (mengerjakan banyak hal sekaligus), tergesa-gesa
f.       Gagal menyelesaikan tugas-tugas sebelum beralih ke tugas berikutnya
g.      Sulit berpikir jernih, berkonsentrasi dan membuat keputusan, pelupa, kurang kreatif, irrasional, menunda-nunda pekerjaan, sulit memulai pekerjaan
h.      Rentan untuk membuat kesalahan dan melakukan kecelakaan
i.        Punya banyak hal yang dikerjakan dan tidak tidak tahu dimana memulainya sehingga mengakhiri segala sesuatu tanpa hasil dan beralih dari satu tugas ke tugas lain dan tidak menyelesaikan apapun

j.        Hiperkritis, tidak flesibel, tidak beralasan, over-reaktif, tidak produktif, efisiensi buruk