Senin, 07 Oktober 2013
Kebidanan terbaru 2013: Kecerdasan Emosional
Kebidanan terbaru 2013: Kecerdasan Emosional: Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak...
Keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa SMU
Di
tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan
hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau
ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal
kelas.
Banyak
usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi
yang terbaik seperti mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas
positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai
keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut
adalah kecerdasan emosional. Karena
kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk
menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan.
Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan
mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan
orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang
berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan
memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat
menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin
yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan
memiliki pikiran yang jernih.
Sebuah
laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan
bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang
siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran
emosional dan sosial : yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan
bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu,
mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta
mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua
siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki
satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan
apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti
kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002:273).
Penelitian
Walter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford
menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan
hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten,
lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta memiliki gairah belajar yang
lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes
SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu menunda dorongan hatinya (dalam
Goleman, 2002 : 81).
Individu
yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih
terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit,
lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan
orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di
sekolah lebih baik (Gottman, 2001:xvii).
Keterampilan
dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan
proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar
pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila anak diajarkan keterampilan dasar
kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih cerdas, penuh pengertian,
mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan
permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses
disekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung
dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks
yang tidak aman (Gottman, 2001 : 250).
Dari uraian di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang
penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk
meraih prestasi belajar yang lebih baik di sekolah..
Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey
(2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi
dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan
tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
a.
Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri
merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu
terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli
psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran
seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran
diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati,
bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan
dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi,
namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga
individu mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan
kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali
merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat
dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 :
77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri,
melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang
menekan.
c.
Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan
dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk
menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai
perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan
keyakinan diri.
d.
Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali
emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan
seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati
seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang
lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan
orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang
yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan
diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka
(Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang
tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus
merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang
lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada
emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang
tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina
Hubungan
Kemampuan dalam membina
hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan
dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam
berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.
Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami
keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam
keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang
berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang
lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang
menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah
tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk
positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana
kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang
dilakukannya.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan
prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk
mengembangkan instrumen kecerdasan emosional
Kecerdasan Emosional
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu
emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel
Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas,
suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk
bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi
merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai
contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga
secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku
menangis.
Emosi berkaitan dengan
perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu
aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator
perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku
intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam
emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire
(hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan
Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu :
fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan
beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu
:
a. Amarah :
beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b.
Kesedihan : pedih, sedih,
muram, suram, melankolis, mengasihi
diri, putus asa
c. Rasa
takut : cemas, gugup,
khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d.
Kenikmatan : bahagia, gembira,
riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan,
persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan,
kasih
f. Terkejut :
terkesiap, terkejut
g. Jengkel :
hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu :
malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa
semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi
berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau
bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics
pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup
yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan
kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan;
nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu
dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi.
Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan
mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 :
xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 :
65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi
mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan
melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan
emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang
di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek)
yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus,
baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
2.
Pengertian kecerdasan emosional
Istilah “kecerdasan emosional”
pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari
Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk
menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi
keberhasilan.
Salovey dan Mayer
mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai :
“himpunan bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang
melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan
informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).
Kecerdasan emosional sangat
dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap
saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak
sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan
keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara
dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ
tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional
diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang
mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi,
emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam
mengatasi tututan dan tekanan lingkungan
(Goleman, 2000 :180).
Gardner
dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53)
mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting
untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang
lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial,
kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan
oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan
pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami
orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana
bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi
adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan
tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan
mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat
untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner
menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk
membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan
hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju
pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri
seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta
memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan
kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57)
memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan
sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu.
Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali
emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang
lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang
lain.
Menurut
Goleman (2002 : 512), kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and
its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,
motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa
untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan
(kerjasama) dengan orang lain.
Prestasi Belajar
Prestasi belajar tidak dapat dipisahkan dari
berbuatan belajar, karena belajar merupakan suatu proses, sedangkan prestasi
belajar adalah hasil dari proses pembelajaran tersebut.
Bagi
seorang siswa belajar merupakan suatu kewajiban. Berhasil atau tidaknya seorang
siswa dalam pendidikan tergantung pada proses belajar yang dialami oleh siswa
tersebut.
Menurtut
Logan, dkk (1976) dalam Sia Tjundjing (2001:70) belajar dapat diartikan sebagai
perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan
latihan . Senada dengan hal tersebut, Winkel (1997:193) berpendapat bahwa
belajar pada manusia dapat dirumuskan sebagai suatu aktivitas mental atau psikis
yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat
relatif konstan dan berbekas.
Belajar tidak hanya dapat
dilakukan di sekolah saja, namun dapat dilakukan dimana-mana, seperti di rumah
ataupun dilingkungan masyarakat. Irwanto (1997:105) berpendapat bahwa belajar
merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi sudah mampu dan terjadi
dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan menurut Mudzakir (1997:34) belajar
adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan di dalam
diri seseorang, mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu
pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.
Di dalam belajar, siswa
mengalami sendiri proses dari tidak tahu menjadi tahu, karena itu menurut
Cronbach (Sumadi Suryabrata,1998:231) :
“Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan
mengalami dan dalam mengalami itu
pelajar mempergunakan pancainderanya. Pancaindera tidak terbatas hanya
indera pengelihatan saja, tetapi juga berlaku bagi indera yang lain.”
Belajar dapat dikatakan
berhasil jika terjadi perubahan dalam diri siswa, namun tidak semua perubahan
perilaku dapat dikatakan belajar karena perubahan tingkah laku akibat belajar
memiliki ciri-ciri perwujudan yang khas (Muhibbidin Syah, 2000:116) antara lain
:
a. Perubahan Intensional
Perubahan dalam proses
berlajar adalah karena pengalaman atau praktek yang dilakukan secara sengaja
dan disadari. Pada ciri ini siswa menyadari bahwa ada perubahan dalam dirinya,
seperti penambahan pengetahuan, kebiasaan dan keterampilan.
b. Perubahan Positif dan aktif
Positif berarti perubahan
tersebut baik dan bermanfaat bagi kehidupan serta sesuai dengan harapan karena
memperoleh sesuatu yang baru, yang lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan aktif
artinya perubahan tersebut terjadi karena adanya usaha dari siswa yang
bersangkutan.
c. Perubahan efektif dan
fungsional
Perubahan dikatakan efektif
apabila membawa pengaruh dan manfaat tertentu bagi siswa. Sedangkan perubahan
yang fungsional artinya perubahan dalam diri siswa tersebut relatif menetap dan
apabila dibutuhkan perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan lagi.
Berdasarkan dari uraian di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, secara sengaja, disadari dan perubahan tersebut relatif menetap
serta membawa pengaruh dan manfaat yang positif bagi siswa dalam berinteraksi
dengan lingkungannya.
2. Pengertian prestasi belajar
Untuk
mendapatkan suatu prestasi tidaklah semudah yang dibayangkan, karena memerlukan
perjuangan dan pengorbanan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi.
Penilaian
terhadap hasil belajar siswa untuk mengetahui sejauhmana ia telah mencapai
sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Seperti yang
dikatakan oleh Winkel (1997:168) bahwa proses belajar yang dialami oleh siswa
menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan dan pemahaman, dalam
bidang nilai, sikap dan keterampilan. Adanya perubahan tersebut tampak dalam
prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa terhadap pertanyaan, persoalan atau
tugas yang diberikan oleh guru. Melalui prestasi belajar siswa dapat mengetahui
kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.
Sedangkan
Marsun dan Martaniah dalam Sia Tjundjing (2000:71) berpendapat bahwa prestasi
belajar merupakan hasil kegiatan belajar, yaitu sejauh mana peserta didik
menguasai bahan pelajaran yang diajarkan, yang diikuti oleh munculnya perasaan
puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik. Hal ini berarti prestasi
belajar hanya bisa diketahui jika telah dilakukan penilaian terhadap hasil
belajar siswa.
Menurut
Poerwodarminto (Mila Ratnawati, 1996 : 206) yang dimaksud dengan prestasi
adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang.
Sedangkan prestasi belajar itu sendiri diartikan sebagai prestasi yang dicapai
oleh seorang siswa pada jangka waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor
sekolah.
Dari
beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar
merupakan hasil usaha belajar yang
dicapai seorang siswa berupa suatu kecakapan dari kegiatan belajar bidang
akademik di sekolah pada jangka waktu tertentu yang dicatat pada setiap akhir
semester di dalam buki laporan yang disebut rapor.
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar.
Untuk
meraih prestasi belajar yang baik, banyak sekali faktor yang perlu
diperhatikan, karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit siswa yang mengalami
kegagalan. Kadang ada siswa yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi
dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi, tapi dalam kenyataannya prestasi
yang dihasilkan di bawah kemampuannya.
Untuk
meraih prestasi belajar yang baik banyak sekali faktor-faktor yang perlu
diperhatikan. Menurut Sumadi Suryabrata (1998 : 233) dan Shertzer dan
Stone (Winkle, 1997 : 591), secara garis besar faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar dan prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.:
a. Faktor internal
Merupakan
faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat mempengaruhi prestasi
belajar. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1). Faktor fisiologis
Dalam hal
ini, faktor fisiologis yang dimaksud adalah faktor yang berhubungan dengan
kesehatan dan pancaindera
a) Kesehatan badan
Untuk dapat
menempuh studi yang baik siswa perlu memperhatikan dan memelihara kesehatan
tubuhnya. Keadaan fisik yang lemah dapat menjadi penghalang bagi siswa dalam
menyelesaikan program studinya. Dalam upaya memelihara kesehatan fisiknya,
siswa perlu memperhatikan pola makan dan pola tidur, untuk memperlancar
metabolisme dalam tubuhnya. Selain itu, juga untuk memelihara kesehatan bahkan
juga dapat meningkatkan ketangkasan fisik dibutuhkan olahraga yang teratur.
b) Pancaindera
Berfungsinya pancaindera merupakan syarat
dapatnya belajar itu berlangsung dengan
baik. Dalam sistem pendidikan dewasa ini di antara pancaindera itu yang paling
memegang peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Hal ini penting, karena
sebagian besar hal-hal yang dipelajari oleh manusia dipelajari melalui penglihatan dan
pendengaran. Dengan demikian, seorang anak yang memiliki cacat fisik atau bahkan
cacat mental akan menghambat dirinya didalam menangkap pelajaran, sehingga pada
akhirnya akan mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah.
2) Faktor psikologis
Ada banyak
faktor psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa, antara lain
adalah :
a) Intelligensi
Pada
umumnya, prestasi belajar yang ditampilkan siswa mempunyai kaitan yang erat
dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Menurut Binet (Winkle,1997 :529)
hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu
tujuan, untuk mengadakan suatu penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan
untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif. Taraf inteligensi ini sangat mempengaruhi
prestasi belajar seorang siswa, di mana siswa yang memiliki taraf inteligensi
tinggi mempunyai peluang lebih besar untuk mencapai prestasi belajar yang lebih
tinggi. Sebaliknya, siswa yang memiliki taraf inteligensi yang rendah
diperkirakan juga akan memiliki prestasi belajar yang rendah. Namun bukanlah
suatu yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah memiliki
prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya .
b) Sikap
Sikap yang
pasif, rendah diri dan kurang percaya diri dapat merupakan faktor yang
menghambat siswa dalam menampilkan prestasi belajarnya. Menurut Sarlito Wirawan
(1997:233) sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu
terhadap hal-hal tertentu. Sikap siswa yang positif terhadap mata pelajaran di
sekolah merupakan langkah awal yang baik dalam proses belajar mengajar di
sekolah.
c) Motivasi
Menurut
Irwanto (1997 : 193) motivasi adalah penggerak perilaku. Motivasi belajar
adalah pendorong seseorang untuk belajar. Motivasi timbul karena adanya
keinginan atau kebutuhan-kebutuhan dalam diri seseorang. Seseorang berhasil
dalam belajar karena ia ingin belajar. Sedangkan menurut Winkle (1991 : 39)
motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang
menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar
dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar itu; maka tujuan yang
dikehendaki oleh siswa tercapai. Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang
bersifat non intelektual. Peranannya yang khas ialah dalam hal gairah atau
semangat belajar, siswa yang termotivasi kuat akan mempunyai banyak energi
untuk melakukan kegiatan belajar.
b. Faktor eksternal
Selain
faktor-faktor yang ada dalam diri siswa, ada hal-hal lain diluar diri yang
dapat mempengaruhi prestasi belajar yang akan diraih, antara lain adalah :
1). Faktor lingkungan keluarga
a) Sosial ekonomi keluarga
Dengan
sosial ekonomi yang memadai, seseorang lebih berkesempatan mendapatkan
fasilitas belajar yang lebih baik, mulai dari buku, alat tulis hingga pemilihan
sekolah
b).
Pendidikan orang tua
Orang tua
yang telah menempuh jenjang pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan dan
memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, dibandingkan dengan yang
mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah.
c).
Perhatian orang tua dan suasana hubungan antara anggota keluarga
Dukungan
dari keluarga merupakan suatu pemacu semangat berpretasi bagi seseorang.
Dukungan dalam hal ini bisa secara langsung, berupa pujian atau nasihat; maupun
secara tidak langsung, seperti hubugan keluarga yang harmonis.
2). Faktor lingkungan sekolah
a). Sarana
dan prasarana
Kelengkapan
fasilitas sekolah, seperti papan tulis, OHP akan membantu kelancaran proses belajar mengajar di
sekolah; selain bentuk ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar sekolah
juga dapat mempengaruhi proses belajar mengajar
b). Kompetensi guru dan siswa
Kualitas
guru dan siswa sangat penting dalam meraih prestasi, kelengkapan sarana dan
prasarana tanpa disertai kinerja yang baik dari para penggunanya akan sia-sia
belaka. Bila seorang siswa merasa kebutuhannya untuk berprestasi dengan baik di
sekolah terpenuhi, misalnya dengan tersedianya fasilitas dan tenaga pendidik
yang berkualitas , yang dapat memenihi rasa ingintahuannya, hubungan dengan
guru dan teman-temannya berlangsung harmonis, maka siswa akan memperoleh iklim
belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, ia akan terdorong untuk
terus-menerus meningkatkan prestasi belajarnya.
c). Kurikulum dan metode mengajar
Hal ini
meliputi materi dan bagaimana cara memberikan materi tersebut kepada siswa.
Metrode pembelajaran yang lebih interaktif sangat diperlukan untuk menumbuhkan
minat dan peran serta siswa dalam kegiatan pembelajaran. Sarlito Wirawan
(1994:122) mengatakan bahwa faktor yang paling penting adalah faktor guru. Jika
guru mengajar dengan arif bijaksana, tegas, memiliki disiplin tinggi, luwes dan
mampu membuat siswa menjadi senang akan pelajaran, maka prestasi belajar siswa
akan cenderung tinggi, palingtidak siswa tersebut tidak bosan dalam mengikuti
pelajaran.
3). Faktor lingkungan masyarakat
a). Sosial budaya
Pandangan
masyarakat tentang pentingnya pendidikan akan mempengaruhi kesungguhan pendidik
dan peserta didik. Masyarakat yang masih memandang rendah pendidikan akan
enggan mengirimkan anaknya ke sekolah dan cenderung memandang rendah pekerjaan
guru/pengajar
b). Partisipasi terhadap
pendidikan
Bila semua
pihak telah berpartisipasi dan mendukung kegiatan pendidikan, mulai dari
pemerintah (berupa kebijakan dan anggaran) sampai pada masyarakat bawah, setiap
orang akan lebih menghargai dan berusaha memajukan pendidikan dan ilmu
pengetahuan.
4. Pengukuran prestasi belajar
Dalam
dunia pendidikan, menilai merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat
ditinggalkan. Menilai merupakan salah satu proses belajar dan mengajar. Di
Indonesia, kegiatan menilai prestasi belajar bidang akademik di sekolah-sekolah
dicatat dalam sebuah buku laporan yang disebut rapor. Dalam rapor dapat
diketahui sejauhmana prestasi belajar seorang siswa, apakah siswa tersebut
berhasil atau gagal dalam suatu mata pelajaran. Didukung oleh pendapat Sumadi
Suryabrata (1998 : 296) bahwa rapor merupakan perumusan terakhir yang diberikan
oleh guru mengenai kemajuan atau hasil belajar murid-muridnya selama masa
tertentu.
Syaifuddin
Azwar (1998 :11) menyebutkan bahwa ada beberapa fungsi penilaian dalam
pendidikan, yaitu :
a.
Penilaian berfungsi selektif (fungsi sumatif)
Fungsi penilaian ini merupakan
pengukuran akhir dalam suatu program dan hasilnya dipakai untuk menentukan
apakah siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak dalam program pendidikan
tersebut. Dengan kata lain penilaian berfungsi untuk membantu guru mengadakan
seleksi terhadap beberapa siswa, misalnya :
1). Memilih siswa yang akan
diterima di sekolah
2) Memilih siswa untuk dapat
naik kelas
3). Memilih siswa yang
seharusnya dapat beasiswa
b. Penilaian berfungsi diagnostik
Fungsi penilaian ini selain
untuk mengetahui hasil yang dicapai siswa juga mengetahui kelemahan siswa
sehingga dengan adanya penilaian, maka guru dapat mengetahui kelemahan dan
kelebihan masing-masing siswa. Jika guru dapat mendeteksi kelemahan siswa, maka
kelemahan tersebut dapat segera diperbaiki.
c. Penilaian berfungsi sebagai penempatan
(placement)
Setiap siswa memiliki
kemampuan berbeda satu sama lain. Penilaian dilakukan untuk mengetahui di mana
seharusnya siswa tersebut ditempatkan sesuai dengan kemampuannya yang telah
diperlihatkannya pada prestasi belajar yang telah dicapainya. Sebagai contoh
penggunaan nilai rapor SMU kelas II menentukan jurusan studi di kelas III.
d. Penilaian berfungsi sebagai pengukur
keberhasilan (fungsi formatif)
Penilaian berfungsi untuk
mengetahui sejauh mana suatu program dapat diterapkan. Sebagai contoh adalah
raport di setiap semester di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menegah dapat
dipakai untuk mengetahui apakah program pendidikan yang telah diterapkan
berhasil diterapkan atau tidak pada siswa
tersebut.
Raport
biasanya menggambil nilai dari angka 1 sampai dengan 10, terutama pada siswa SD
sampai SMU, tetaapi dalam kenyataan nilai terendah dalam rapor yaitu 4 dan
nilai tertinggi 9. Nilai-nilai di bawah 5 berarti tidak baik atau buruk,
sedangkan nilai-nilai di atas 5 berarti cukup baik, baik dan sangat baik.
Dalam
penelitian ini pengukuran prestasi belajar menggunakan penilaian sebagai
pengukur keberhasilan (fungsi formatif), yaitu nilai-nilai raport pada akhir
masa semester I.
Sabtu, 05 Oktober 2013
pERAN kELUARGA
Peran menunjukan kepada beberapa set perilaku yang
kurang lebih bersifat homogen, yang didefinisikan dan diharapkan secara
normatif dari seorang okupan dalam situasi sosial tertentu. Peran didasarkan
preskripsi dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus
lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka
sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut (Nye, 1976).
Peran adalah suatu pola tingkah laku, kepercayaan
nilai, sikap yang diharapkan oleh masyarakat muncul dan menandai sifat dan
tindakan pemegang kedudukan (Sarwono, 1997)
Peran adalah pola, sikap, perilaku, nilai dan tujuan
yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat (Beck
dkk,1984; Keliat, 1992)
Peran adalah perilaku yang berkenaan dengan siapa yang
memegang suatu posisi tertentu, posisi mengidentifikasi status atau tempat
seseorang dalam suatu sistem sosial.
1)
Keluarga
Menurut Burgess dkk, 1976 membuat definisi yang
berorientasi pada tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas:
a.
Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan ikatan
perkawinan, darah dan ikatan adopsi
b.
Para anggota keluaga
biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup
secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah
mereka
c.
Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu
sama yang lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami istri, ayah dan
ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara dan saudari
d.
Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu
kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri
Menurut whall (!986) dalam analisa konsep tentang
keluarga sebagai unit yang perlu dirawat dalam perawatan, keluarga
didefinisikan sebagai kelompok yang mengidentifikasikan diri dengan anggotanya
terdiri dari dua individu atau lebih, yang asosiasinya dicirikan oleh
istilah-istilah khusus, yang boleh jadi tidak diikat oleh hubungan darah atau hukum,
tapi berfungsi berbagai macam sehingga mereka menganggap diri mereka sebagai
anggota keluarga.
Family Service America (1984) mendefinisikan keluarga
dengan cara komprehensif yaitu sebagai dua orang atau lebih yang disatukan oleh
ikatan-ikatan kebersamaan dan keintiman.
Menurut friedman (1998) keluarga didefinisikan dua
orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan
emosional dan yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga.
2)
Peran keluarga
Peran keluarga adalah seperangkat perilaku interpersonal,
sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi
tertentu (Effendy,1998).
Menurut Goldenberg dan Goldenberg (1980) dalam Shives
(1998) dikatakan peran keluarga dalam perawatan kesehatan meliputi: kemampuan
mengkomunikasikan gagasan dan perasaan menyusun dalam menentukan pembagian
tugas keluarga, saling berinteraksi, melindungi antara sesama anggota keluarga,
saling berpartisipasi untuk menolong anggota keluarga yang sakit.
1.
Macam-macam peran
1)
Peran formal
Berkaitan dengan setiap posisi formal keluarga adalah
peran-peran terkait, yaitu sejumlah perilaku yang bersifat homogen. Keluarga
membagi peran secara merata kepada para anggota keluarga seperti cara
masyarakat membagi peran-perannya menurut bagaimana pentingnya pelaksanaan
peran bagi berfungsinya suatu system.
Nye dan Gecas (1976) telah mengidentifikasikan enam
peran dasar yang membentuk posisi sosial Sebagai Suami-Ayah dan istri-ibu:
a.
Peran sebagai provider (penyedia)
b.
Peran sebagai pengatur rumah tangga
c.
Peran perawatan anak
d.
Peran sosialisasi anak
e.
Peran rekreasi
f.
Peran persaudaraan (kinship) yaitu memelihara hubungan
keluarga paternal dan maternal
g.
Peran terapeutik yaitu memenuhi kebutuhan afektif dari
pasangan
h.
Peran seksual
2)
Peran informal
Peran-peran informal bersifat implisit biasanya tidak
tampak pada ke permukaan dan dimainkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
emosional individual (Satir, 1967) dan/atau untuk menjaga keseimbangan
keluarga. Beberapa contoh peran-peran yang digambarkan literatur (Benne dan
Sheats,1948; Hartman dan Laird; 1983; Kantor dan Lehr, 1975; Satir, 1972; Vogel
dan Bell, !960)
a.
Pendorong
Pendorong memuji, setuju dengan, dan menerima kontribusi dari orang lain
dan membuat mereka merasa bahwa pemikiran mereka penting dan bernilai untuk
didengar.
b.
Pengharmonis
Pengharmonis menengahi perbedaan yang terdapat di antara para anggota
menghibur menyatukan kembali perbedaan pendapat
c.
Inisiator-kontributor
Inisiator-kontributor mengemukakan dan mengajukan ide-ide baru atau cara-cara
mengingat masalah-masalah atau tujuan-tujuan kelompok. Kantor dan Lehr
menyatakan tipe peran ini sebagai sebuah “penggerak” peran yang dicirikan oleh
inisiasi tindakan.
d.
Pendamai
Pendamai (compromiser) merupakan bagian dari konflik dan
ketidaksepakatan. Pendamai menyatakan posisinya dan mengakui kesalahannya, atau
menawarkan penyelesaian.
e.
Penghalang
Penghalang cenderung negatif terhadap semua ide yang ditolak tanpa
alasan. Kantor dan Lehr memberikan label kepada peran ini sebagai oposan.
f.
Dominator
Dominator cenderung memaksakan kekuasaan atau superioritas dengan
memanipulasi anggota kelompok tertentu dan membanggakan kekuasaannya dan bertindak seakan-akan ia mengetahui
segala-galanya dan tampil sempurna.
g.
Penyalah
Peran ini seperti penghalang dan dominator. Penyalah adalah seorang yang
suka mencari tahu kesalahan, diktator, dan seorang bos yang mengetahui
semuanya.
h.
Pengikut
Seorang pengikut terus mengikuti gerakan dari kelompok, menerima ide-ide
dari orang lain kurang lebih secara pasif, tampil sebagai pendengar dalam
diskusi kelompok dan keputusan kelompok
i.
Pencari pengakuan
Pencari pengakuan berupaya mencari cara apa saja yang tepat untuk menarik
perhatian kepada dirinya sendiri, perbuatannya, prestasi, dan masalah-masalah
lain.
j.
Martir
Martir tidak menginginkan apa saja untuk dirinya, ia hanya berkorban untuk anggota keluarga yang
lain.
k.
Keras hati
Orang yang memainkan peran ini menggambarkan secara terus menerus dan
aktif tentang semua hal yang “benar”, tidak ada bedanya dengan sebuah komputer.
Satir (1975) menamakan peran informal ini super
reasonable.
l.
Sahabat
Sahabat seorang teman bermain keluarga yang mengikuti kehendak pribadi
dan memaafkan perilaku keluarga tingkah lakunya sendiri tanpa melihat
konsekuensinya. Nampak ia tidak selalu relevan.
m.
Kambing hitam keluarga
Kambing hitam keluarga adalah masalah anggota keluarga yang telah
diidentifikasi dalam keluarga sebagai korban atau tempat pelampiasan ketegangan
dan rasa bermusuhan, baik secara jelas maupun tidak.
n.
Penghibur
Penghibur senantiasa mengagumkan dan mencoba menyenangkan, tidak pernah
tidak setuju.
o.
Perawat keluarga
Perawat keluarga adalah orang yang terpanggil untuk merawat dan mengasuh
anggota keluarga lain yang membutuhkan.
p.
Pioner keluarga
Pioner keluarga membawa keluarga pindah ke suatu wilayah asing dan dalam
pengalaman baru.
q.
Distraktor dan orang yang tidak relevan.
Ditraktor bersifat tidak relevan, dengan menunjukan perilaku yang menarik
perhatian, ia membantu keluarga menghindari atau melupakan persoalan-persoalan
yang menyedihkan dan sulit.
r.
Koordinator keluarga
Koordinator keluarga mengorganisasi dan merencanakan kegiatan-kegiatan
keluarga, yang berfungsi mengangkat keterikatan/keakraban dan memerangi
kepedihan.
s.
Penghubung keluarga
Perantara keluarga adalah penghubung, ia (biasanya ibu) mengirim dan
memonitor komunikasi dalam keluarga
t.
Saksi
Peran dari saksi sama dengan pengikut kecuali dalam beberapa hal, saksi
lebih pasif. Saksi hanya mengamati tidak melibatkan dirinya.
Menurut
Leuckenotte (2002) menambahkan peran yang potensial yang berpengaruh pada
lansia adalah:
a.
The primemover
b.
The scapegoat
c.
Pembuat keputusan
d.
Perawat kesehatan
e.
Pendamai
f.
The potstirerrer
g.
Kambing hitam
h.
The burden bearer
i.
The model child
j.
The escape
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peran.
a.
Faktor Internal
Umur
Umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat
dilahirkan sampai saat berulang tahun (Elisabeth, B.H, 1996; Nursalam, 2001).
Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang
dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang
lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi
kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya
(Huclok, 1998; Nursalam, 2001).
b.
Faktor Eskternal
1)
Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang berarti yang
diberikan seseorang terhadapa perkembangan orang lain menuju kearah suatu
cita-cita tertentu (Sarwono, 1997; Nursalam, 2001). Pendidikan diperlukan untuk
mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan, sehingga dapat
menigkatkan kualitas hidup.
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah
menerima infornasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.
Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang
terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Kuncoronigrat,1997; Nursalam,
2001)
2)
Pekerjaan
Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan
terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga (Thomas,
1997;Nursalam, 2001). Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak
merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan
(Erich, 1996; Nursalam 2001). Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita
waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan
keluarga (Markum, 1991; Nursalam, 2001).
3)
Status ekonomi
Status ekonomi adalah sebuah komponen social, mengacu
pada tingkat pendapatan keluarga dan sumber pendapatan, salah satu fungsi dasar
keluarga adalah tersedianya dukungan ekonomi yang memadai dan pengalokasian
sumber-sumber. Oleh sebab itu tidak hanya tingkat pendapatan yang
diperhitungkan tetapi juga pengeluaran dan pembelanjaan berpusat pada
penglokasian sumber.
Geismer dan La sorte (1964) membagi keluarga terdiri
dari 4 tingkat ekonomi.:
a)
Adekuat : menyatakan bahwa uang yang dibelanjakan atas
dasar suatu pemahaman bahwa pembiayaan-pembiayaan adalah tanggung jawab orang
tua.
b)
Marginal : sering terjadi perselisihan antar anggota
keluarga siapa yang seharusnya mengontrol pendapatan dan pengeluaran.
c)
Miskin
d)
Sangat miskin
4)
Budaya
Budaya menggambarkan dan memandu cara yang digunakan
oleh masyarakat, kelompok etnis untuk memecahkan masalah mereka dan mengambil
arti dari hidup mereka.
Kebudayaan didefinisikan sebagai sistem pola perilaku
yang ditransmisikan oleh masyarakat yang menghubungkan kelompok manusia dengan
lingkup lingkungan dan juga sebagai sistem-sistem perubahan sosial dan
organisasi yang bertindak sebagai penengah adaptasi sosial (Leininger, 1976;
Friedman, 1998). Dengan kata lain kebudayaan merupakan sebuah mal (cetakan)
yang darinya kita semua menjadi pelaku. Kebudayaan memaksa kita dan mengatur
perilaku, sikap dan nilai-nilai kita dalam cara-cara yang tidak kelihatan dan
tampak karena manusia mengandalkan perilaku atau budaya yang dipelajari untuk
kelangsungan hidupnya. Kebudayaan merupakan sumber utama adaptasi kita.
5)
Lingkungan
Lingkungan keluarga adalah apa saja yang ada diluar
keluarga tertentu, termasuk lingkungan fisik yang paling dekat, dimana keluarga
tersebut berada dan linkungan sosial keluarga. ruang lingkup dari suatu
keluarga dari suatu keluarga adalah luas dan lingkungan keluarga tidak hanya
terdiri dari perawatan medis, realita-realita konkret seperti pangan, sandang
dan papan, pekerjaan, keamanan, fisik, pendidikan dan rekreasi, tapi juga
memasukan realita-realita sosial dalam keluarga (Holman,1983; Friedman,
1998).
3.
Peran memberikan perawatan
Observasi klinis dan publikasi riset tahap lanjut
belakangan ini membuat para perawat keluarga lebih sadar akan isu-isu serius
yang dihadapi pemberi perawatan, karena banyak sekali orang-orang lansia lemah
dan sakit kronis yang menerima perawatan dirumah sekarang. Banyak studi yang
secara konsisten mendokumentasikan stres dan beban-beban yang dihadapi oleh keluarga,
khususnya oleh yang merawat ketika memberikan perawatan kepada anggota keluarga
lansia yang sakit kronis dan lemah tersebut. Pemberian perawatan di rumah yang
berkesinambungan ini dapat mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang
serius bagi pemberi perawatan (Treas, J. dan Bengston, V. 1987).
Orang-orang lanjut usia lebih suka hidup di rumah
sendiri, ketika seorang lanjut usia meminta bantuan, maka harapannya adalah
pasangannya akan memberikan bantuan tersebut, pasangan yang memberikan perawatan
itu sendiri, yang biasanya orangtua itu sendiri, yang berisiko tinggi terhadap
masalah kesehatan atau memperburuk kondisi yang ada karena adanya stres akibat
memberikan perawatan dan karena usia mereka yang semakin lanjut (Blieszner dan
Alley, J.M., 1990).
4.
Perubahan peran selama sakit
Perubahan-perubahan peran karena hilangnya kemampuan
atau ketidakmampuan seorang anggota,
maka seringkali muncul konflik-konflik peran dan ketegangan peran, karena
anggota keluarga dipaksa untuk menerima peran-peran baru dan memiliki sedikit
kesempatan untuk mempelajari peran-peran ini serta mengatur kembali tanggung
jawab peran mereka yang lain. Tegangan atau stres akibat peran sering merupakan
hasil dari perubahan peran tersebut (Friedman, 1992).
Stress
Stres dapat didefinisikan sebagai sebuah keadaan yang
kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang
diterima dan kemampuan untuk mengatasi. Stres adalah keseimbangan antara
bagaimana kita memandang tuntutan-tuntutandan bagaimana kita berpikir bahwa
kita dapat mengatasi tuntutan yang menentukan apakah kita dapat merasakan stres
(Looker, T. & Gregson, 2004). Sedangkan Smeltzer (2001) mendefinisikan
stres sebagai suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan yang
diterima sebagai suatu hal yang menantang, mengancam atau merusak terhadap
keseimbangan atau ekuilibrium dinamis seseorang. Ada ketidakseimbangan nyata atau semu pada
kemampuan seseorang dalam memenuhi permintaan situasi yang baru.
Stres sering terjadi jika orang dihadapkan dengan
peristiwa yang mereka rasakan sebagai mengancam kesehatan fisik atau
psikologisnya. Peristiwa tersebut dinamakan stresor, dan reaksi orang terhadap
peristiwa tersebut dinamakan respon Stres (Atkitson at all, 1987).
Salah satu sumbangan pertama dalam penelitian tentang
stres adalah deskripsi Cannon tentang respon fight-or-flight, pada tahun 1932. Cannon berpendapat bahwa ketika
organisme merasakan ada suatu ancaman, maka secara cepat tubuh akan terangsang
dan termotivasi melalui sistem syaraf simpatik dan endokrin. Respon fisiologis
ini mendorong organisme untuk menyerang ancaman tadi atau melarikan diri
(Garmezy, 1983; Taylor, 1991)
1.
Stresor
Stresor adalah perubahan atau stimulus yang
membangkitkan stress seseorang (Smeltzer, 2001). Lain halnya dengan Werner
(1993) mendefinisikan stresor sebagai suatu kejadian, kondisi, situasi dan atau
kunci internal atau eksternal yang berpotensi untuk membawa atau sebenarnya
mengaktifkan reaksi fisik dan psikososial yang bermakna.
Jenis stresor dapat terjadi dengan berbagai bentuk dan
kategori. Dapat bersifat fisik, fisiologis dan psikososial. Stresor fisik dapat
berupa suhu dingin, panas atau agen kimia. Stresor fisiologis meliputi nyeri
dan kelelahan. Sedangkan stresor psikologis dapat terjadi akibat reaksi emosi,
seperti takut akan gagal dalam menghadapi ujian atau gagal mendapat pekerjaan.
Stresor dapat juga sebagai suatu transisi kehidupan yang normal yang membutuhkan
penyesuaian (Smeltzer, 2001).
Sifat stresor sangat berbeda-beda, kejadian atau
perubahan yang mengakibatkan stres pada seseorang bisa saja tidak berpengaruh
apapun pada orang lain, dan suatu kejadian yang dapat menyebabkan stres pada
satu kesempatan dan tempat bisa saja tidak mempengaruhi orang yang sama pada
kesempatan dan tempat yang berbeda (Smeltzer, 2001).
Menurut Stuart dan Sundeen (1998), stresor pencetus
mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal. Stresor pencetus dapat
dikelompokkan dalam dua kategori :
a.
Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi
ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk
melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
b.
Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat
membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang dapat terintegrasi
seseorang.
Menurut Hawari (2004), stressor psikososial dapat
mempengaruhi terjadinya kecemasan karena tidak semua orang mampu melakukan
adaptasi dan mengatasi stressor psikososial, sehingga timbullah keluhan-keluhan
salah satunya adalah cemas. Dari sekian banyak jenis stressor psikososial yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari,para pakar memberikan beberapa contoh
antara lain sebagai berikut:
a.
Pekerjaan
Terlalu banyak beban pekerjaan dan sementara waktu tersedia sangat sempit
dapat menyebabkan stres. Kehilangan pekerjaan pun juga dapat mempengaruhi
timbulnya stres.
b. Ekonomi
(keuangan)
Masalah ekonomi dalam kehidupan sehari-hari ternyata
merupakan salah satu stressor utama.
c.
Pendidikan
Pendidikan yang
rendah pada seseorang juga akan mempengaruhi orang tersebut mudah stres.
d.
Hubungan interpersonal (hubungan sosial)
Hubungan antara perorangan yang tidak baik dapat merupakan sumber stres.
e.
Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan hidup yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan
seseorang, karena dengan kesehatan yang buruk akan mempengaruhi timbulnya
stres.
f.
Perkembangan
Yang dimaksud disini adalah tahapan perkembangan fisik maupun mental
seseorang. Dan apabila tahapan perkembangan tersebut tidak dapat dilampaui dengan
baik, yang bersangkutan dapat mengalami stres. Dan biasanya perkembangan disaat
umur yang masih muda akan lebih mudah mengalami stres daripada umur yang sudah
tua tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya.
2.
Tahapan stres
Dr. Robert J. Van Amberg (1979) dalam Hawari (2002) membagi
tahapan-tahapan stres sebagai berikut:
a.
Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan
yang biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut:
1)
Semangat bekerja besar, berlebihan
2)
Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya
3)
Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari
biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan disertai rasa gugup
yang berlebihan
4)
Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin
bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menepis
b.
Stres tahap II
Dalam tahapan ini dampak stres yang semula
“menyenangkan” sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan
timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup
sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat antara
lain dengan tidur yang cukup bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan
energi yang mengalami defisit. Keluhan-keluhan pada stres tahap II adalah:
1)
Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa
segar
2)
Merasa mudah lelah sesudah makan siang
3)
Lekas merasa capai menjelang sore hari
4)
Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman
5)
Detakan jantung lebih keras dari biasanya
(Berdebar-debar)
6)
Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang
7)
Tidak bias santai
c.
Stres tahap III
Bila seseorang memaksakan diri dalam pekerjaannya
tanpa menghiraukan keluhan-keluhan pada tahap II maka yang bersangkutan akan
menunjukan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu:
1)
Gangguan lambung dan usus semakin nyata, misalnya Maag,
buang air besar tidak teratur
2)
Tegangan otot-otot semakin terasa
3)
Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional
semakin meningkat
4)
Gangguan pola tidur atau insomnia
5)
Koordinasi tubuh terganggu seperti badan terasa sempoyongan
dan seperti mau pingsan
Pada tahap ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada Dokter untuk
memperoleh terapi
d.
Stres tahap IV
Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke
dokter sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III di atas, oleh dokter
dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada
organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan yang bersangkutan memaksakan diri
untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV akan muncul:
1)
Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat
sulit
2)
Aktifitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah
diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit
3)
Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan
kemampuan untuk merespons secara memadai (adequate)
4)
Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin
sehari-hari
5)
Gangguan pola tidur disertai mimpi-mimpiyang
menegangkan
6)
Seringkali menolak ajakan (negativism)karena tiada semangat dan kegairahan
7)
Daya konsentrasi dan daya ingat turun
8)
Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak
dapat dijelaskan apa penyebabnya
e.
Stres tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh
dalam stres tahapV yang ditandai dengan hal-hal berikut
1)
Kelelahan fisik dan mental semakin mendalam
2)
Ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang
ringan dan sederhana
3)
Gangguan sistem pencernaan semakin berat
4)
Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan semakin meningkat,
mudah bingung dan panik
f.
Stres tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks seseorang
mengalami serangan panic dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang
mengalami stres tahap VI ini berulang kali dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan
ke ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan
fisik organ tubuh. Gambaran Stres tahap VI ini sebagai berikut:
1)
Debaran jantung teramat keras
2)
Susah bernafas
3)
Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat
bercucuran
4)
Ketidakadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan
5)
Pingsan
3.
Respon stres
Atkitson at all (1987) menyebutkan respon atau reaksi terhadap stres
dibagi menjadi 2 macam:
1)
Respon psikologis
Situasi stres yang menghasilkan reaksi emosional mulai dari kegembiraan
(jika peristiwa menuntut tetapi dapat ditangani) sampai emosi umum kecemasan,
kemarahan, kemarahan, kekecewaan dan depresi. Jika situasi stres terus terjadi, emosi kita mungkin berpindah
bolak-balik diantara emosi-emosi tersebut, tergantung pada keberhasilan kita
menyelesaikan.
2)
Respon fisiologis
Tubuh memulai seurutan kompleks respon bawaan terhadap ancaman yang dihadapi.
Jika ancaman dapat dipecahkan dengan segera, respon darurat tersebut akan
menghilang, dan keadaan fisiologis kita menjadi normal. Jika situasi stres
terus terjadi, timbullah respon internal yang lain saat kita berupaya beradaptasi
dengan stresor kronis.
4.
Stres pada lansia
Promosi kesehatan jiwa adalah aspek penting dalam
perawatan bagi usia lanjut. Ada 4 aspek penting yang menjadi bagian kesehatan
jiwa yaitu manajemen stres, harga diri, seksual, pembekalan spiritual bagi usia
lanjut, 4 aspek tersebut akan menolong usia lanjut tentang tantangan kejiwaan
mereka sehubungan dengan usianya (Atkitson at all, 1987).
Pola penyesuaian masalah dan kemampuan beradaptasi
terhadap stres berkembang sepanjang perjalanan hidup dan tetap konsisten dengan
awal kehidupan. Pengetahuan mengenai kesuksesan dan kompetensi saat usia dewasa
awal dapat membantu seseorang mengembangkan citra diri yang positif yang akan
tetanp solid meskipun mengalami gangguan di usia tua. Integritas diri
memberikan lansia pertahanan terhadap korosi harga diri. Individu yang
fleksibel dan berfungsi baik mungkin akan tetap bertahan sampai lansia. Tetapi
kehilangan dapat berakumulasi dalam waktu yang singkat dan membingungkan.
Lansia hanya akan mempunyai sedikit pilihan dan sumber daya yang berkurang untuk
menghadapi stres. Stresor yang sering terjadi pada lansia meliputi perubahan
menua normal yang akan mengganggu fungsi fisik, aktifitas dan penampilan,
kecacatan akibat penyakit kronik, kehilangan sosial dan lingkungan penghasilan,
peran dan aktifitas serta kematian orang tercinta (Smeltzer, 2001).
5.
Tanda-tanda stress
Menurut Looker, T. & Gregson (2004) menyebutkan tanda-tanda stres
sebagai berikut:
1)
Fisik
a.
Merasakan detak jantung, berdebar-debar
b.
Sesak nafas, gumpalan lendir di tenggorokan, nafas pendek
dan cepat
c.
Mulut kering, gangguan pencernaan, nausea
d.
Diare, sembelit, gembung perut (flatulensi)
e.
Ketegangan otot secara keseluruhan khususnya rahang,
kertak gigi
f.
Kegelisahan, hiperaktif, menggigit kuku, mengetok jari,
menginjak-injakan kaki, meremas-remaskan tangan
g.
Lelah, capek, lesu, sulit tidur, merasa sedih, sakit kepala,
sering sakit seperti flu
h.
Berkeringat khususnya ditelapak tangan dan bibir atas,
merasa gerah
i.
Tangan dan kaki dingin
j.
Sering ingin kencing
k.
Makan berlebihan, kehilangan selera makan, merokok
lebih banyak
l.
Makin banyak, minum alcohol, hilangnya ketertarikan
pada seks
2)
Mental
a.
Distres, cemas, kecewa, menangis, rendah diri, merasa
putus asa dan tanpa daya, histeris, menarik diri, merasa tidak mampu mengatasi,
gelisah, depresi
b.
Tidak sabar, mudah tersinggung dan berlebihan, marah,
melawan, agresif
c.
Frustasi, bosan, tidak cukup, merasa salah, tertolak,
terabaikan, tidak aman, rentan
d.
Kehilangan ketertarikan pada penampilan sendiri,
kesehatan, makanan, seks, harga diri rendah dan kehilangan ketetarikan pada
orang lain
e.
Polifasis (mengerjakan banyak hal sekaligus),
tergesa-gesa
f.
Gagal menyelesaikan tugas-tugas sebelum beralih ke
tugas berikutnya
g.
Sulit berpikir jernih, berkonsentrasi dan membuat
keputusan, pelupa, kurang kreatif, irrasional, menunda-nunda pekerjaan, sulit
memulai pekerjaan
h.
Rentan untuk membuat kesalahan dan melakukan kecelakaan
i.
Punya banyak hal yang dikerjakan dan tidak tidak tahu
dimana memulainya sehingga mengakhiri segala sesuatu tanpa hasil dan beralih
dari satu tugas ke tugas lain dan tidak menyelesaikan apapun
j.
Hiperkritis, tidak flesibel, tidak beralasan,
over-reaktif, tidak produktif, efisiensi buruk
Langganan:
Postingan (Atom)